Connect with us
Advertisement

OPINI

Claim and Blame di Hutan Harapan

DETAIL.ID

Published

on

Hutan Harapan

JUDUL sangar ditulis besar, ‘PETAKA HUTAN HARAPAN’. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya digambarkan sedang memegang kapak, lalu membentang karpet merah di tengah hamparan hutan. Satwa Gajah dan Harimau divisualisasikan terpaksa menyingkir penuh ketakutan.

Di media non konvensional, narasi disusun dengan kalimat mengentak-entak. Di media konvensional, narasi disusun dengan laporan jenis investigasi news, kasta tertinggi dalam penulisan karya jurnalistik.

Sehingga saat dibaca berulang-ulang, baik dari sisi mana pun, mau dimulai dari halaman mana pun, tokoh antagonis di semua media itu cuma satu nama: Siti Nurbaya!

Visual dan narasi itu terus menyebar. Di-like, di-coment, dan di-share. Ribuan kali. Masuk ke berbagai platform media sosial, hingga ke grup-grup WA. Menjadi bahan cerita di berbagai ruang diskusi para praktisi, akademisi, dan pemerhati.

Pemahaman orang awam hanya sampai sebatas narasi-narasi itu saja. Tidak ada narasi yang menjelaskan bahwa izin yang dikeluarkan Siti Nurbaya atas nama Menteri LHK, bukanlah izin yang bisa dibubuhkan tanda tangannya begitu saja. Seketika. Apalagi asal selera.

Karena izin di Hutan Harapan, sudah melalui proses yang sangat panjang kali lebar. Bertahun-tahun lamanya.

Dimulai dari pengajuan PT Marga Bara Jaya ke Menteri LHK untuk mendapatkan izin membangun jalur logistik (angkutan batu bara) di dalam areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Restorasi Ekosistem (IUPPHK-RE) PT REKI di Provinsi Jambi.

Dalam konteks ini, Menteri LHK selaku wakil pemerintah, memiliki kewajiban berdiri tegak pada semua kepentingan anak bangsa, sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Pengajuan itu wajib dipelajari untuk diberi kepastian, apakah izin bisa diberikan, atau ditolak. Maka Menteri memberikan disposisi ke Ditjen PKTL untuk mempelajari pengajuan izin.

Ditjen PKTL lantas meminta pertimbangan teknis mengenai pengajuan izin dari Badan Litbang dan Inovasi (BLI), Ditjen KSDAE, dan Ditjen PHPL KLHK. Semua pihak diminta bekerja untuk memberikan kajian-kajian teknis.

Rekomendasi Badan Litbang dan Inovasi (BLI) KLHK kemudian ‘digoreng’ sedemikian rupa, seolah Menteri mengabaikan kajian ilmiah yang melarang ada aktivitas di Hutan Harapan. Padahal faktanya, kajian tim BLI hanya dasar ilmiah, lengkap dengan saran melakukan studi lapangan, dan itu dikeluarkan jauh sebelum Komisi AMDAL bekerja.

Karena semua kajian yang masuk dari BLI, BKSDA dan Ditjen PHPL, masih harus diolah lagi oleh tim AMDAL, dengan melihat dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup, Analisis Dampak Lingkungan Hidup, Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL).

Semuanya kemudian diuji publik oleh Komisi AMDAL, yang anggotanya terdiri dari perwakilan multipihak, bukan hanya unsur pemerintah saja, tapi juga dari kalangan independen.

Semua kajian dari para pihak didiskusikan, didebat-debat, dihajar-hajar, dikaji-kaji, diminta pertimbangan dari segala sisi.

Komisi AMDAL lantas memberikan tiga opsi, yakni (1) membuat jalan di luar areal PT REKI, (2) membuat jalan dalam areal PT.REKI, tapi hanya di pinggir kawasan, (3) membangun jalan di dalam kawasan inti.

Pada akhirnya, dipilihlah opsi kedua. Diizinkan membangun jalan di dalam kawasan PT REKI dengan hanya melipir di pinggir kawasan.

Pemilihan opsi ini bukan ujug-ujug, apalagi asal-asal tunjuk. Karena pada prinsipnya opsi kedua inilah yang paling sangat minimal memiliki dampak lingkungan.

Kenapa KLHK tidak memilih di luar kawasan? Karena di luar kawasan justru hutannya masih sangat lebat, sehingga dampak lingkungan akan jauh lebih besar mengancam manusia, satwa dan keanekaragaman hayati lainnya.

[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical”]

Selain itu ternyata di dalam kawasan hutan produksi, ada lokasi yang kewajiban restorasinya tidak dijalankan dengan baik oleh PT REKI.

Nah, inilah hal terpenting yang tidak dinarasikan di berbagai platform media, bahwa PT REKI mengantongi izin dari negara dengan status kawasan HUTAN PRODUKSI. BUKAN HUTAN KONSERVASI.

Izin ini mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor SK.159/Menhut-II/2004 tentang Restorasi Ekosistem di kawasan hutan produksi.

Artinya, pengelola Hutan Harapan yang terbentang di perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan (dalam hal ini PT REKI), mengantongi izin pengelolaan hutan produksi melalui Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE).

Pemberian izin ini merupakan upaya (baca: niat baik) pemerintah untuk mengembalikan areal hutan produksi yang telah rusak menjadi seimbang keadaan hayatinya.

Aktivitas PT REKI bersama para pihak LSM seperti Burung Indonesia, Royal Society for the Protection of Birds (RSPB) dan Birdlife International, bukanlah berada di dalam kawasan hutan konservasi (yang tidak boleh diganggu sama sekali), melainkan di dalam hutan produksi, dimana berdasarkan aturannya boleh dimanfaatkan maksimal 10 % untuk peruntukan lainnya (termasuk Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan).

Sehingga keluarnya izin untuk PT Marga Bara Jaya, sesungguhnya bukanlah barang yang tabu ataupun haram. Seluruh izin dikeluarkan sesuai prosedur yang berlaku di negara Republik Indonesia. Apalagi izin yang dikeluarkan ternyata tidak sampai 10 % dari kawasan.

Hal ini mengacu bahwa PT REKI berada di dalam hutan produksi, maka tentu saja KLHK mempelajari pemanfaatan kawasan Hutan Harapan dengan skim hutan produksi. Dimana dalam aturannya, PT REKI juga memiliki kewajiban melakukan restorasi di dalam kawasan hutan produksi ini.

Namun ternyata PT REKI menyimpan masalah dengan tidak melakukan kewajiban restorasi di dalam kawasannya. Ada areal-areal restorasi yang tidak dijalankan, bahkan PT REKI tidak mengantongi Rencana Kerja Usaha (RKU) lanjutan.

Hal penting yang perlu dipahami, restorasi yang dijalankan perusahaan pemegang izin, sifatnya adalah kewajiban, bukan berarti akan mengubah status kawasan. Orang awam mungkin berpikir bila selesai direstorasi, seterusnya hanya menjadi hutan saja, padahal tidak demikian dalam aturannya. Karena setelah kewajiban restorasi dilakukan, status kawasan tersebut tetaplah hutan produksi. Bukan hutan konservasi.

Maka selaku pemegang izin, kewajiban perusahaan adalah merestorasi dulu, sampai ke titik normal, baru bisa dimanfaatkan sesuai perijinan yang diberikan.

Dengan kondisi faktual di lapangan, maka KLHK memutuskan mengeluarkan izin untuk PT Marga Bara Jaya di dalam kawasan PT REKI, dengan fokus pada titik-titik kewajiban restorasi yang tidak dilaksanakan oleh PT REKI sebelumnya.

Komisi AMDAL bahkan memprasyaratkan bahwa restorasi nantinya wajib dilakukan oleh PT.REKI selaku pemegang izin kawasan (IUPHHK-RE), dan PT Marga Bara Jaya selaku pemegang IPPKH yang akan membangun jalan untuk aktivitas tambang mereka.

Ini otomatis akan sangat berat, sangat sulit, bahkan mungkin terasa sangat tidak adil bagi PT Marga Bara Jaya, karena mereka harus menanggung ‘kelalaian’ PT.REKI sebelumnya, namun apa pun itu, Menteri LHK tetap berpegang pada rekomendasi Komisi AMDAL. Kalo kamu mau dapatkan izin? Lakukan dulu kewajiban restorasi!

Jadi keluarnya izin di kawasan hutan harapan, justru cara yang dipilih Menteri LHK setelah melalui kajian yang sangat amat panjang, untuk menyelamatkan hutan harapan. Karena dengan kebijakan tersebut, maka kedua perusahaan diwajibkan melakukan restorasi di hutan harapan. Sifatnya WAJIB!

Apakah fakta soal ‘goreng-goreng’ Hutan Harapan hanya sampai di situ? ternyata tidak!

Pada awal Desember 2019, Menteri bidang lingkungan dua negara, Denmark dan Jerman, mengirimi Menteri LHK Siti Nurbaya surat resmi.

Secara singkat isinya meminta Pemerintah Indonesia menghentikan rencana pembangunan jalan di hutan harapan, karena mereka sudah satu dekade mengirimkan dana bantuan restorasi Hutan Harapan ke PT.REKI dan LSM Burung Indonesia. KEJUTAN.

Surat tersebut bahkan dengan sedikit ‘intimidasi’, bahwa jika izin tersebut tidak dibatalkan, maka Negara asing tersebut akan meninjau ulang dukungan dana terhadap proyek restorasi di kawasan hutan harapan. INI KEJUTAN LAGI.

Karena setelah ditelusuri (sementara), kerja sama PT REKI dan LSM Burung Indonesia dengan Negara asing, ternyata tanpa setahu lembaga resmi pemerintah Indonesia. Hingga saat ini masih dilakukan pendalaman, bagaimana sebenarnya mekanisme mitra yang dilakukan tanpa sepengetahuan pemerintah Indonesia itu bisa berjalan.

[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical”]

Surat ini semacam membuka tabir baru yang tidak terungkap di dalam kawasan Hutan Harapan, yang dijalankan PT REKI, LSM Burung Indonesia, dan mitra kerja lainnya.

Surat ini jelas mempertaruhkan kedaulatan negara, karena dengan dalih dana yang diberikan, ada pihak dari negara lain merasa bisa melakukan intervensi terhadap kebijakan dalam negeri pemerintah Indonesia.

Siti Nurbaya sedang diuji kenegarawanannya sebagai seorang Indonesia. Sementara di dalam negeri pada isu izin Hutan Harapan, ia terlanjur diposisikan sebagai Menteri antagonis dalam narasi dan karikatur yang beredar. Persepsi dan opini kadung terbentuk liar.

Tanpa sadar, kamuflase informasi dalam bentuk claim and blame (mengklaim dan menyalahkan), sedang mengancam kedaulatan Negara kita tercinta. Siti Nurbaya berdiri di situ sendiri. Dihajar sendiri. Menjadi tameng sendiri.

Tameng itulah sosok yang selama ini kokoh melakukan perombakan besar-besaran dalam tata kelola izin dan pemanfaatan sumber daya alam Indonesia, setelah jor-joran keterlanjuran di masa lalu.

Di masanya, seluruh izin di kawasan gambut dan hutan primer dihentikan total. Penegakan hukum lingkungan paling ‘brutal’ dilakukan demi memberi efek jera bagi perusak lingkungan. Hingga pada pemberian izin pada masyarakat, bukan lagi pada korporat.

Di masanya pula, deforestasi Indonesia berada di titik paling terendah dalam sejarah. Semua itu dilakukan bukan untuk ‘menyenangkan’ negara asing, melainkan kewajiban Negara untuk hadir sebagaimana amanat UUD 1945.

Pihak asing harusnya mempelajari lebih jauh, dan tidak melakukan upaya intervensi kebijakan dalam negeri suatu negara merdeka, tanpa memahami substansi. Sudah seharusnya Indonesia dihormati sebagai Negara berdaulat.

Karena dalam semangat restorasi, upaya pemerintah Indonesia harus dilihat dalam satu kesatuan yang utuh dan lengkap. Melalui Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE), Indonesia memiliki lebih dari 33.000 desa hutan untuk mewujudkan kemandirian ekonomi serta ketahanan pangan dan energi dalam negeri.

Pemerintah Indonesia mengalokasikan sekitar 1,79 juta ha kawasan hutan produksi untuk kegiatan Restorasi Ekosistem, dan sekitar 558.185 ribu hektar hutan produksi telah dikelola melalui IUPHHK-RE. Termasuk di dalamnya Hutan Harapan, yang diberikan pada PT.REKI seluas 98.554 ha.

Beredarnya informasi manipulatif di sektor kehutanan dan lingkungan hidup, jelas tak bisa dianggap remeh temeh. Terlebih lagi di masa pandemi Covid-19, dimana pemerintah Indonesia memiliki double beban menjaga sektor-sektor strategis tetap menggeliat dinamis demi menjaga kestabilan ekonomi dalam negeri.

Di pundak Siti saat ini, ada beban yang tidak mudah, di antaranya untuk memastikan bahwa ancaman kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) tidak bertemu di masa pandemi Corona, memastikan sektor kehutanan terus produktif dengan pelibatan masyarakat dalam program padat karya, dan banyak kerja besar lainnya.

Kebijakan pemerintah Republik Indonesia dalam mengelola sumber daya alamnya, sudah seharusnya dilihat oleh semua pihak secara komprehensif, dan tidak sepotong-potong.

Sehingga narasi-narasi dangkal, visualisasi tendensius, tidak diproduksi hanya untuk mengakomodir kepentingan segelintir pihak, dengan mempertaruhkan kepentingan sebagai Bangsa yang besar dan merdeka.

Karena kalau semuanya boleh ngasal menyampaikan informasi, maka informasi berikut ini juga bisa ngasal tulis saja, yaitu:

  1. PT REKI mungkin merasa terganggu ada aktivitas lain di dalam kawasan mereka. Sementara mereka punya kepentingan untuk menjaga kawasan restorasi demi menjaga komitmen dengan negara asing yang menjadi donor. Di satu sisi, mekanisme kerja sama dengan donor asing ini tidak masuk dalam laporan resmi ke pemerintah.
  2. Isu liar pun bergulir, memosisikan Menteri LHK sedang ‘kongkalikong’ mengeluarkan izin hanya demi kepentingan pribadi. Padahal yang dilakukan Menteri LHK adalah menyelamatkan Hutan Harapan, karena ada kawasan kewajiban restorasi yang tidak dijalankan dengan baik oleh PT.REKI dan mitra kerjanya.
  3. Menteri LHK divisualisasikan sedang membabat Hutan Harapan, padahal Menteri LHK sedang melakukan penyelamatan kawasan, sekaligus memberikan kepastian berusaha bagi pihak swasta, dengan kewajiban restorasi di dalamnya. Sehingga alam tetap lestari dan kepastian berusaha tetap terjaga di masa pandemi.

Tentu semua itu perlu diklarifikasi kembali. Karena kebenaran hakiki hanya ada di hati para pihak terkait. Kebenaran seharusnya tidak pernah mendua.

Pelajaran terpenting dari kasus ini adalah kita harus berhati-hati dalam menyerap informasi, membaca narasi, menerjemahkan visualisasi yang beredar di berbagai platform media.

Jangan sampai cepat menghakimi, jangan cepat puas melakukan investigasi, jangan sampai jatuh menjadi pengikut konsep argentum ad Nausem ala Bapak propaganda Nazi, Paul Joseph Goebbels, yang mengatakan bahwa “Kebohongan yang dikampanyekan secara terus-menerus dan sistematis akan berubah menjadi (seolah-olah) kenyataan! Sedangkan kebohongan sempurna, adalah kebenaran yang dipelintir sedikit saja.”

Sebagai anak Bangsa Indonesia, Bangsa yang Besar dan Merdeka, kita semua harus sensitif untuk menjaga Merah Putih. Agar Indonesia Maju bisa benar-benar terbukti, bukan hanya berhenti jadi narasi mimpi.

Salam Restorasi yang jujur!

 

*Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Lancang Kuning (FIA Unilak), mantan Wartawan Istana Kepresidenan, Tenaga Ahli Menteri LHK

OPINI

Politik Hukum dalam Pembentukan Undang-Undang: Meneguhkan Prinsip Negara Hukum atau Menegaskan Dominasi Kekuasaan?

Oleh: Juwika Pasaribu (P2B125067)*

DETAIL.ID

Published

on

DALAM idealitas konstitusi, hukum berada di atas kekuasaan. Namun dalam praktik politik hukum Indonesia, garis itu kerap kabur. Legislasi yang seharusnya menjadi wujud kehendak rakyat justru sering berubah menjadi instrumen politik kekuasaan. Pertanyaan mendasarnya pun muncul: apakah politik hukum Indonesia hari ini meneguhkan prinsip negara hukum atau justru menegaskan dominasi kekuasaan?

Secara konseptual, politik hukum adalah arah kebijakan hukum nasional yang menentukan bagaimana hukum dibentuk, diterapkan, dan ditegakkan dalam suatu negara. Mahfud MD (2009) mendefinisikannya sebagai kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan untuk mencapai citacita bangsa. Dengan kata lain, politik hukum adalah kompas yang seharusnya menuntun pembentukan undang-undang agar selaras dengan nilai-nilai konstitusi, bukan sekadar kepentingan penguasa.

Namun, praktik politik hukum Indonesia belakangan menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Contoh konkretnya dalam Revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), pengesahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja hingga pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara memperlihatkan kecenderungan kuat bahwa politik hukum lebih banyak diarahkan untuk memperkuat struktur kekuasaan ketimbang mewujudkan keadilan sosial dan aspirasi masyarakat.

Revisi Undang-Undang KPK pada penerapannya dinilai akan melemahkan independensi lembaga antikorupsi, Undang-Undang Cipta Kerja disahkan secara tergesa tanpa partisipasi publik yang memadai dan bahkan dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, sementara UU IKN dinilai terburu-buru dan lebih mencerminkan kehendak politik pemerintah pusat daripada aspirasi rakyat.

Asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011 hanya dijalankan sebatas formalitas administratif tanpa makna substantif. Publik memang diundang dalam forum konsultasi, tetapi ruang partisipasinya terbatas dan tidak berpengaruh signifikan terhadap hasil akhir. Proses legislasi seperti ini menggeser makna hukum dari instrumen keadilan menjadi alat legitimasi kebijakan yang pada akhirnya rakyat hanya menjadi penonton dalam drama hukum yang disutradarai oleh kekuasaan.

Kondisi ini mengikis prinsip dasar negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Negara hukum mensyaratkan supremasi hukum atas kekuasaan, perlindungan hak asasi, serta adanya partisipasi publik dalam proses legislasi. Ketika proses pembentukan undangundang lebih menonjolkan kepentingan politik jangka pendek, maka prinsip negara hukum terdegradasi menjadi sekadar slogan konstitusional. Pemerintah dan DPR kerap berdalih bahwa percepatan legislasi dibutuhkan untuk kepastian hukum dan efisiensi kebijakan.

Namun, kepastian hukum yang tidak dilandasi legitimasi publik justru menimbulkan ketidakpastian sosial. Kepastian hukum yang dibangun di atas dominasi politik adalah kepastian semu, stabil di permukaan tetapi rapuh di dasar. Padahal, menurut Satjipto Rahardjo, hukum seharusnya mengandung dimensi moral dan sosial yang berpihak pada keadilan, bukan sekadar mengabdi pada logika kekuasaan formal.

Dalam pandangan teori responsive law yang dikemukakan oleh Philip Nonet dan Philip Selznick, hukum ideal adalah hukum yang peka terhadap nilai-nilai masyarakat dan mampu beradaptasi terhadap tuntutan keadilan sosial. Artinya, pembentukan hukum harus partisipatif dan terbuka agar produk hukum tidak hanya sah secara formal, tetapi juga sah secara moral dan sosial. Karena itu, tantangan politik hukum Indonesia ke depan bukan hanya soal memperbanyak produk legislasi, tetapi menata kembali orientasinya. Hukum harus kembali menjadi instrumen moral untuk menegakkan keadilan, bukan alat taktis kekuasaan. Pemerintah dan DPR perlu mengembalikan fungsi legislasi sebagai ruang deliberatif yang mengutamakan dialog, transparansi, dan akuntabilitas.

Partisipasi publik harus dihidupkan kembali secara bermakna, bukan sekadar diundang dalam dengar pendapat, tetapi benar-benar dilibatkan dalam penyusunan kebijakan sejak tahap perencanaan hingga evaluasi. Asas keterbukaan tidak boleh berhenti di meja administratif, melainkan menjadi ukuran kualitas demokrasi hukum. Tanpa pembenahan arah politik hukum, Indonesia berisiko terus melahirkan undang-undang yang sah secara formal namun kehilangan legitimasi sosial.

Ketika legitimasi publik hilang, hukum tidak lagi menjadi pemandu kehidupan bernegara, melainkan hanya pelengkap formal dari kehendak kekuasaan. Pada akhirnya, ukuran kemajuan negara hukum bukan terletak pada banyaknya undang-undang yang dihasilkan, melainkan pada sejauh mana hukum benarbenar menjadi penuntun bagi kekuasaan, bukan pelayannya

*Penulis merupakan mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi.

Continue Reading

OPINI

Politik Hukum dalam UU Cipta Kerja: Ekonomi dan Keadilan Konstitusional

Oleh: Okto Simangunsong, S.H*

DETAIL.ID

Published

on

POLITIK hukum pada hakikatnya merupakan kebijakan dasar yang menentukan arah pembentukan dan penegakan hukum suatu negara. Mahfud MD mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang, dan telah berlaku untuk mencapai tujuan negara.

Definisi tersebut menegaskan bahwa hukum tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan merupakan hasil interaksi antara nilai, kekuasaan, dan kepentingan sosial-politik.

Dalam konteks Indonesia, politik hukum sering kali menjadi arena tarik-menarik antara tujuan pembangunan ekonomi dan prinsip keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. UU Cipta Kerja menjadi contoh konkret bagaimana arah politik hukum dapat bergeser menuju orientasi efisiensi ekonomi dengan mengorbankan partisipasi publik serta kualitas legislasi.

Metode omnibus law yang digunakan dalam pembentukan UU Cipta Kerja memang dimaksudkan untuk merapikan tumpang tindih regulasi dan mempercepat investasi. Namun, cara dan hasilnya menimbulkan kritik luas karena dinilai mengabaikan asas keterbukaan dan partisipasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Dasar Teoretis dan Kerangka Regulasi

Secara teoretis, politik hukum merupakan wujud nyata dari policy oriented law making, di mana pembentukan hukum diarahkan oleh agenda politik negara. Menurut Padmo Wahyono (1986), politik hukum adalah kebijakan dasar dalam bidang hukum yang menjadi pedoman bagi pembentukan hukum untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Dengan demikian, politik hukum memiliki dua dimensi yakni normatif dan politis.

Dalam kerangka konstitusional, pengawasan terhadap produk politik hukum dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui kewenangan judicial review sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Mekanisme ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa setiap undang-undang selaras dengan prinsip konstitusi, terutama dalam hal keadilan, keterbukaan, dan penghormatan terhadap hak-hak warga negara.

UU Cipta Kerja dan revisinya melalui UU Nomor 6 Tahun 2023 menjadi ujian nyata bagi kedua aspek tersebut, apakah politik hukum pembentukannya masih berada dalam koridor konstitusi, dan sejauh mana MK berperan menjaga keseimbangan antara kekuasaan politik dan supremasi hukum.

Analisis Politik Hukum dalam UU Cipta Kerja

UU Cipta Kerja menunjukkan bahwa politik hukum Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh kekuasaan eksekutif. Pemerintah, dengan dukungan mayoritas politik di DPR, berhasil mendorong lahirnya undang-undang yang mengubah lebih dari 70 undang-undang sektoral sekaligus. Proses legislasi yang cepat, tertutup, dan minim partisipasi publik memperlihatkan bahwa hukum telah dijadikan instrumen kebijakan pembangunan ekonomi.

Kondisi ini memperlihatkan gejala instrumentalization of law  hukum tidak lagi menjadi alat kontrol terhadap kekuasaan, melainkan alat legitimasi kekuasaan itu sendiri. Dalam konteks ini, efisiensi prosedural digunakan sebagai alasan untuk mengesampingkan nilai-nilai demokrasi substantif.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat merupakan wujud dari pengawasan konstitusional yang efektif. MK menegaskan bahwa pembentukan undang-undang harus memenuhi asas partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) sebagai bagian dari prinsip negara hukum.

Namun, tindak lanjut pemerintah melalui penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023, memperlihatkan kecenderungan resistensi terhadap koreksi yudisial. Alih-alih memperbaiki proses legislasi, pemerintah justru mengulangi pendekatan serupa dengan dalih mendesak kebutuhan ekonomi nasional. Fenomena ini memperlihatkan bahwa politik hukum di Indonesia masih belum sepenuhnya menghormati prinsip checks and balances.

Secara filosofis, politik hukum seharusnya berorientasi pada rule of law, yakni menempatkan hukum di atas kekuasaan. Namun praktik dalam pembentukan dan perubahan UU Cipta Kerja justru mencerminkan rule by law, yaitu penggunaan hukum sebagai instrumen legitimasi kebijakan politik.
Ketika hukum dikendalikan oleh kekuasaan politik, maka fungsi normatifnya sebagai pelindung keadilan sosial dan lingkungan hidup melemah. Akibatnya, hukum kehilangan legitimasi moral di mata publik.

Politik hukum pembentukan UU Cipta Kerja menunjukkan dua wajah. Di satu sisi, hukum berfungsi sebagai sarana untuk mempercepat pembangunan ekonomi dan investasi. Namun di sisi lain, hukum kehilangan fungsi sosialnya sebagai instrumen keadilan. Keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan substantif menjadi terdistorsi.

Partisipasi publik yang minim dan pengabaian terhadap asas keterbukaan telah menimbulkan defisit legitimasi dalam politik hukum nasional. Ketika hukum tidak lagi dipersepsikan sebagai milik bersama, melainkan sebagai produk elit politik, maka kepercayaan publik terhadap negara hukum pun melemah.

Penutup

UU Cipta Kerja menjadi cermin nyata bagaimana politik hukum dapat bergeser dari orientasi keadilan menuju pragmatisme ekonomi. Dominasi eksekutif, lemahnya partisipasi publik, dan resistensi terhadap pengawasan yudisial menandakan bahwa sistem hukum Indonesia masih rentan terhadap politisasi.

Untuk membangun politik hukum yang konstitusional, dibutuhkan komitmen pada tiga hal pokok; (1). Menegakkan asas partisipasi publik yang bermakna dalam setiap proses legislasi. (2). Menghormati putusan Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk kontrol konstitusional, bukan sekadar formalitas hukum. (3). Menempatkan hukum sebagai sarana keadilan sosial, bukan alat legitimasi kebijakan ekonomi.

Hukum yang baik bukanlah hukum yang paling efisien, tetapi hukum yang paling adil. Politik hukum yang berorientasi pada keadilan konstitusional akan memastikan bahwa pembangunan ekonomi tidak mengorbankan hak rakyat dan prinsip negara hukum.

*Penulis merupakan Advokad dan mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi.

Continue Reading

OPINI

Pesan Tegas Prabowo dan Cermin Buram Penegakan Hukum Kita

Oleh: Nazli*

DETAIL.ID

Published

on

PERNYATAAN Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini layak diapresiasi tinggi oleh rakyat. Dalam arahannya, Presiden menegaskan agar aparat penegak hukum tidak berbuat dzalim terhadap rakyat kecil dan tidak menjadikan hukum sebagai alat penindasan.

“Saya ingatkan terus kejaksaan, kepolisian, jangan kriminalisasi sesuatu yang tidak ada. Hukum jangan tumpul ke atas, tajam ke bawah,” ujar Prabowo di kantor Kejaksaan Agung usai menyaksikan penyerahan uang pengganti kerugian kasus CPO di Jakarta pada Senin, 20 Oktober 2025.

Pernyataan tersebut bukanlah basa-basi politik, melainkan tamparan moral bagi institusi penegak hukum yang selama ini dinilai gagal menjaga rasa keadilan publik. Kalimat Prabowo menyentuh inti luka sosial bangsa dan “ketimpangan penegakan hukum”.

Kita tidak menutup mata: hukum di Indonesia masih sering berpihak pada mereka yang memiliki kekuasaan dan kekayaan. Rakyat kecil bisa dijerat karena perkara sepele, ada seorang ibu rumah tangga ditahan karena mencuri kayu bakar, seorang petani dipenjara karena bersengketa dengan perusahaan besar, seorang anak sekolah diseret ke pengadilan karena mencuri ayam.

Namun di sisi lain, pelanggaran besar oleh korporasi perusak lingkungan, pengemplang pajak, atau pelaku korupsi kerap “diselesaikan dengan pendekatan kekeluargaan”.
Inilah wajah hukum yang menakutkan bagi yang lemah, tapi lembek terhadap yang kuat.
Hukum yang tidak lagi menjadi pelindung keadilan, melainkan alat kekuasaan.

Kriminalisasi rakyat kecil bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah kemanusiaan. Banyak kasus bukan lahir dari niat jahat, tetapi dari kemiskinan yang sistemik. Petani yang menggarap tanah turun-temurun dianggap menyerobot lahan perusahaan; nelayan kecil yang mencari ikan dianggap melanggar izin laut; warga miskin kota yang berdagang di trotoar ditertibkan tanpa solusi.

Inilah bentuk nyata kriminalisasi kemiskinan, ketika hidup sederhana dianggap pelanggaran, dan perjuangan bertahan hidup dianggap kejahatan.

Pesan Presiden Prabowo seharusnya membuka mata para penegak hukum bahwa keadilan tidak bisa diukur dari seberapa banyak orang ditangkap, tetapi diukur seberapa adil hukum ditegakkan.

Kini saatnya aparat hukum membuktikan diri: apakah pesan Presiden hanya akan menjadi hiasan berita, atau benar-benar dijalankan di lapangan. Polisi, jaksa, dan hakim harus mulai bekerja dengan nurani. Karena hukum tanpa empati adalah kezaliman yang dilegalkan.

Bila rakyat kecil bisa diproses cepat, maka pelaku besar juga harus diproses lebih cepat. Bila rakyat miskin bisa diseret ke pengadilan, maka pengusaha dan pejabat yang korup juga harus diseret, tanpa pandang bulu.

Rakyat kecil kini menaruh harapan baru pada Presiden Prabowo. Namun harapan itu hanya akan hidup bila aparat hukum menindaklanjuti pesan beliau dengan tindakan nyata. Karena rakyat sudah terlalu sering mendengar janji keadilan, tapi jarang merasakannya.

Bila hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka rakyat akan terus kehilangan kepercayaan. Dan bila kepercayaan rakyat telah hilang, maka hukum kehilangan wibawa, dan negara kehilangan jiwanya.

*Humas DPD Gerindra Jambi

Continue Reading
Advertisement Advertisement
Advertisement ads

Dilarang menyalin atau mengambil artikel dan property pada situs