Tadi pagi, saya menelepon Zulfikar Akbar, wartawan TopSkor yang dipecat gara-gara cuitannya soal Somad. Saya menanyakan kabar dan kasusnya. Dia bercerita santai. Katanya, perusahaannya belum pernah mengalami suasana persekusi seperti itu.
“Ada ancaman ke kantor redaksi melalui telepon. Bahkan sempat ada yang mau menggeruduk, melakukan demonstrasi. Makanya kantor kami sempat meminta bantuan polisi untuk dijaga. Yang paling keras adalah persekusi via medsos,” tutur Zulfikar.
Kalau dicermati, sebetulnya cuitan Zulfikar soal Somad biasa saja. Jauh lebih keras tulisannya Ustad Abu Janda al-Boliwudi, Birgaldo Sinaga atau Denny Siregar. Tapi, masalahnya ketiga perjaka tingting ini gak punya atasan. Jadi siapa yang berani memecat mereka?
Berbeda dengan Zulfikar. Dia bekerja di sebuah media olahraga. Artinya tidak ada kaitannya dengan politik atau agama. Cuitan Zulfikar, alumnus IAIN Aceh ini, ditulis sebagai opini pribadi. Bukan terkait dengan profesinya sebagai wartawan TopSkor. Tapi, itulah. Para gerombolan menyerang Zul langsung ke kantornya. Bermaksud menutup pendaringan Zul. Menutup mata pencarian seseorang yang dianggap berbeda.
Bahkan hastag soal #BoikotTopSkor sempat menjadi trending topik di Twitter. Dari sana kita tahu, kasus ini memang digoreng sedemikian rupa dan pasukan cyber micin memainkannya dengan sangat serius. Sampai sebuah hastag soal boikot media yang oplanya biasa saja itu bisa menjadi trending topik. Ini jelas tidak terjadi secara natural. Ada orkestra yang memainkan isu ini di Twitter. Robot-robot mereka bergentayangan memainkan isu ini hingga menjadi trending.
Mungkin saja karena ketakutan pihak manajemen akhirnya Zul diberhentikan dari kantornya. Hastag dan bombardiran ancaman membuat manajemen TopSkor tidak mau pusing dan mengambil jalan singkat: pecat Zulfikar.
“Saya belum tahu status pastinya. Tapi sampai sekarang saya belum menerima surat apapun dari kantor mengenai status saya,” ungkap Zul.
Kita tahu, pada akhirnya, kelompok radikal memang sudah mempersiapkan diri bertarung di media sosial. Apa yang ingin mereka desakan dikerjakan dengan matang dan terkoordinasi. Tujuannya, ‘membunuh’ mata pencarian lawannya. Mereka mencari lawan yang lemah dan menikam dititik lemahnya itu.
Seperti Zul yang bekerja sebagai wartawan di sebuah media. Mereka tidak hanya menyerang Zul secara pribadi, tetapi juga mengancam kantor tempatnya bekerja. Sialnya, kantor Zul bukan terdiri dari orang yang memahami media sosial. Padahal kalau dicuekin saja, gak akan berpengaruh banyak. Bahkan, hastag itu bisa dijadikan sebagai sarana untuk promosi gratis asal bisa disikapi dengan cerdas.
Kini, tidak sedikit orang yang merasa kesal dengan tindakan manajemen TopSkor terhadap Zul. Beberapa kawan yang bekerja di perusahaan advertising mengancam akan menghentikan kontrak dengan TopSkor. Di sisi lain, serangan bani micin, tidak juga mereda meskipun Zul telah dikeluarkan dari TopSkor. Akibatnya TopSkor akhirnya menghadapi dua kubu.
Manajemen TopSkor mungkin berfikir, masalah selesai setelah Zul dipecat. Aha, mereka salah duga. Mana ada orang-orang itu punya otak memikirkan kelangsungan sebuah usaha? Jika mereka bisa membenci Indonesia sedemikian rupa, apalagi cuma sekadar sebuah media. Mereka butuh kemenangan. Dan kemenangannya tidak cukup hanya dengan Zul dipecat. Tapi sampai permainannya untuk memboikot TopSkorjadi viral. Itulah pertempuran di media sosial yang rupanya gagal dipahami oleh manajemen TopSkor.
Jadi dengan memecat Zul, manajemen TopSkortidak mendapat apa-apa. Mereka diserang dari dua kubu : para penjaja khilafah dan para membela hak Zul sebagai karyawan. Tidak ada yang membela TopSkor di media sosial.
Jika saja manajemen TopSkor bukan terdiri dari orang pengecut. mungkin mereka bisa memanfaatkan isu ini untuk promosi lebih baik. Mereka bisa berdalih, cuitannya Zul tidak ada hubungannya dengan karirnya sebagai wartawan olahraga. Silakan adukan ke ranah hukum jika mereka tersinggung atas cuitan Zul. Itu urusan Zul secara personal.
Jika sikap itu yang diambil, saya rasa akan banyak orang membela TopSkor.
Tapi ada satu hal yang menarik. Setelah FPI agak mendem dengan persekusinya, kini diindikasi para pengasong khilafah makin merajalela. Setelah HTI menjadi setara PKI, sebagai ormas terlarang, mereka makin kalap. Serangan diarahkan kepada siapa saja, dengan sasaran akhir pemerintah Indonesia.
Somad adalah momentumnya. Kasusnya dikerek sedemikian rupa dengan tujuan akhir kritik pada pemerintah. Jangan heran jika politiisi PAN, PKS dan Gerindra yang berteriak seolah Somad adalah persoalan bangsa yang serius.
Bukan hanya itu, ada akun yang mengarahkan isu pelarangan Somad di Hongkong untuk memfitnah PBNU. Ada akun lain yang menuding Luhut Binsar Panjaitan. Padahal Somad ini siapa sih? Cuma ceramah agama yang pintar menangis di depan laptop, kenapa juga perlu seorang pejabat tinggi repot mengurusnya.
Ini mah, cuma kasus imigrasi biasa. Tapi, sama bani micin digelumbungkan sedemikian rupa seolah stupa di candi Borobudur tumbuh jenggot. Menghebohkan!
Bayangkan, sebuah kasus kecil, berkenaan dengan kebijakan negara lain seperti Hongkong, digoreng seperti bakwan. Dimainkan ke sana-kemari. Membuat gaduh dan gonjang-ganjing dunia persilatan. Emang Somad siapa?
Dia hanya penceramah agama. Tapi Somad dapat momentum untuk dijadikan peluru baru. Apalagi dia kabarnya diback-up oleh lembaga adat melayu. Nah, ini kesempatan. Begitu pikir mereka.
Dengan memainkan isu Somad, bakal ada dua api yang bisa dibakar. Pertama isu agama, karena Somad adalah penceramah agama. Soal penistaan agama akan dimainkan lagi.
Kedua, adalah isu rasial. Somad orang Melayu dan dia aktif di sebuah lembaga adat. Yang menolak kehadirannya adalah pemerintah Hongkong, yang warganya Cina.
Jadi membesarkan isu Somad, akan membuka ruang baru untuk mengkoyak-koyak Indonesia. Karena ada bahan bakar isu agama dan juga isu rasial. Tujuan mereka memang cuma satu, bagamana memanfaatkan momentum untuk merusak persatuan bangsa ini.
Meskipun Somad, mungkin saja, tidak sadar sedang ditunggangi.
“Atau malah menikmatinya, mas,?” celetuk Bambang Kusnadi.
“Mbuh…”
Discussion about this post