Masalah kedua, di atas lahan 7.252 hektar ini, setengahnya atau sekitar 3.650 hektar adalah lahan klaim masyarakat lain termasuk kelompok Ardani dan M. Zen—mantan kepala desa Bungku selama 17 tahun.
“Ini hanya akan menambah keruwetan konflik dengan memunculkan konflik horizontal yang baru sesama masyarakat,” kata Agus Pranata dari Serikat Tani Nasional.
Sebagian besar orang SAD Batin 9 masih banyak yang belum mendapat bagian dari 2.000 hektar. Dipimpin Abunyani, ketua Lembaga Adat Batin 9, mereka memilih berjalan kaki dari Jambi selama 41 hari ke Jakarta. Awalnya aksi diikuti 71 orang, namun sebagian pulang karena sakit. Sisa 49 orang menginap di Komnas HAM sejak awal Desember 2014.
Pada 11 Desember, mereka sempat mendatangi Istana Presiden namun gagal bertemu Presiden Joko Widodo yang saat itu di luar negeri. Menurut Mahyuddin, koordinator lapangan aksi, mereka menuntut pengukuran ulang lahan seluas 3.550 hektar.
HERMAN Basir punya pendapat lain. Ia menerima bagian dari lahan 2.000 hektar karena PT Asiatic Persada berjanji tetap mengukur ulang lahan 3.550 hektar. Menjelang proses itu selesai, menurut Herman, gunakan dulu lahan yang ada untuk sementara.
Itu yang dijanjikan Amruzi, mantan general manager PT Asiatic yang bekerja selama dua tahun. Beberapa bulan lalu dia dipecat dan kini bekerja di Riau. Posisi Amruzi digantikan Salawuddin.
Herman cukup dekat dengan Amruzi karena selama delapan tahun ia pernah bekerja di PT Asiatic (2001-2008), dari sekuriti, humas, hingga land officer (pekerja pembebasan lahan). Sejak berhenti, Herman ditahbiskan menjadi “Temenggung Sembilan Bilah.”
Ayah dua anak ini sudah tiga kali menikah. Dua pernikahan sebelumnya berakhir cerai. “Saking seringnya meninggalkan anak-istri selama berjuang, saya diceraikan istri. Apa boleh buat, mungkin ini konsekuensi yang harus saya terima,” kata pria berusia 33 tahun ini.
Siapa sebenarnya yang mesti bertanggungjawab?
“Saya kira keluarga Senangsyah. Ketika saya bekerja di perusahaan, kebun HGU boleh dibilang belukar sawit. Banyak lahan yang kosong, belum ditanami sawit. Commonwealth Development Corporation dan perusahaan lain hanyalah korban. Mereka semua tertipu,” Herman menambahkan.
Dari jatah dua hektar, Herman bilang mendapat penghasilan rata-rata Rp1,5 juta setiap bulan. Pendapatan terendah Rp700 ribu. Ia dikenakan dana investasi 20 persen. Kreditnya senilai Rp8 juta yang dipotong dari hasil kebun setiap bulan tapi tak dijelaskan sampai kapan.
Kondisi kebun itu sudah tua, tahun tanamnya 1988, artinya berumur 26 tahun. Sulit mendapatkan satu tandan dalam satu batang pohon sawit. Tinggi pohon 27-28 meter. Jika memanen, mesti menyambung tiga buah enggrek. Perhitungannya, usia produktif sawit maksimal 20-25 tahun sehingga mesti diremajakan kembali dengan sawit baru. Pada usia setua itu, dua hektar kebun sawit hanya menghasilkan rata-rata satu ton. Ongkos perawatan kebun lebih mahal ketimbang pendapatan petani.
Beberapa bulan lalu, seorang warga pemilik kebun saat memanen terluka akibat tertimpa enggrek dan buah sawit. Sempat dirawat hingga kemudian meninggal.
Sejak diserahkan pada April 2014, delivery order ternyata ditangani Ketua Lembaga Adat Batanghari, Fathuddin Abdi. Seluruh hasil kebun juga dipotong 40 persen sebagai dana tabungan. Dana itu untuk biaya perawatan kebun. Totalnya sampai sekarang sekitar Rp13 miliar.
Dana itu menurut Herman Basir dipegang PT Asiatic namun tak jelas posisinya. Saat ini ia mempertanyakan dana itu agar diserahkan kepada masyarakat. “Biarlah masyarakat yang mengelola. Bayangkan dana yang dibutuhkan untuk mengukur ulang lahan 3.550 hektar paling tinggi hanya Rp2 miliar. Berarti dana saving itu lebih dari cukup,” ujarnya.
Menurut Herman, ada sejumlah langkah agar proses penyelesaian konflik ini berjalan baik. Pertama, warga Suku Anak Dalam Batin 9 tidak dibuat terpecah-belah seperti saat ini. Mereka mestinya dibuatkan satu wadah yang bersifat satu arah.
Kedua, pengelolaan lahan 2.000 hektar harus fair. SK Bupati Nomor 180 itu membuat mereka seperti karyawan PT Asiatic. Harus bikin surat kepemilikan lahan yang kuat secara hukum dan kolektif agar masyarakat tak bisa memperjualbelikan lahan sewaktu-waktu. “Biarlah lahan ini kami kelola bermitra dengan pemerintah. Perusahaan sebaiknya melepaskan diri,” ujarnya.
Ketiga, proses verifikasi asli atau tidaknya SAD Batin 9 hendaknya dilakukan tim independen, beranggotakan pemerintah dan ketemenggungan SAD Batin 9.
“Ukuran asli menurut saya jelas. Anak jantan turun jantan. Keaslian itu menurut garis ayah. Dari suku mana pun ibunya, yang penting ayahnya adalah orang Batin 9. Kalau sebaliknya, itu berarti semendo,” katanya.
Keempat, bagi orang Batin 9 yang sudah terlanjur menjual lahan, maka ia tak berhak mendapat ganti rugi lahan. Haknya jatuh ke tangan pembeli.
Kelima, barulah proses pengukuran ulang di lahan 3.550 hektar dilanjutkan.
“Saya yakin dengan fakta-fakta hukum yang ada, kami optimis lahan tersebut dikembalikan ke tangan kami,” katanya.