Dalam Selimut Konflik

Konflik
Rumah-rumah warga SAD di Pinang Tinggi yang digusur. (DETAIL/Feri Irawan)

Pendapat yang sama diucapkan Mat Samin, ketua Komunitas Pasirah Pintang Iman yang mendapat bagian lahan dari 2.000 hektar dari PT Asiatic sekaligus sekretaris Koperasi Berkah Bersatu. Menurutnya, mayoritas orang Batin 9 buta huruf. Masih langka orang yang menamatkan SMA. Faktor konflik berkepanjangan jadi penyebab utama. Selain pula faktor pernikahan beda suku. Pada umumnya, suami-istri Suku Anak Dalam tak mampu menyekolahkan anak-anaknya.

Mat Samin merasa beruntung menikah dengan perempuan Jawa. Ketiga anaknya bersekolah. Anak keduanya saat ini kuliah keperawatan. “Setahu saya, di komunitas kami, baru empat orang yang kuliah,” katanya.

Konflik tak hanya berdampak terhambatnya akses pendidikan. Laku pengetahuan lokal makin memuih. Yang tersisa tinggal adat menikah dan tari Besale. Adat menikah mengikuti ajaran agama Islam. Boleh dibilang hanya Besale yang masih rutin digelar setiap tahun.

Saya pernah sekali menyaksikan tarian Besale ketika orang Batin 9 berdemo di depan kompleks kantor provinsi Jambi pada 6 Januari 2014. Dua lelaki paruh baya melepas baju hingga telanjang dada diiringi seorang perempuan meliuk-liuk mengikuti irama rebana. Baju yang mereka lepas dilambai-lambaikan. Dua lelaki lain, tanpa melepas baju, memegangi pinggang mereka, mengikuti tarian. Besale hanya dimainkan sekitar lima menit. Mereka langsung duduk bersimpuh seraya menundukkan kepala di depan Abunyani, ketua Lembaga Adat Batin 9 dan pemukul rebana.

“Ini merupakan tarian untuk mengobati sakit sekaligus ucapan syukur kami yang tiba di sini dalam keadaan segar bugar,” kata Abunyani.

Mayoritas orang Batin 9 yang belum mendapatkan tanah, bekerja serabutan. Ada yang berburu babi, pemulung, mencari rotan dan jernang, atau mencari ikan, memasang jerat untuk kancil, landak, rusa, dan kijang.

“Kalau hari sedang panas, kami mencari betiruk (labi-labi) buat sekadar beli beras. Jika dapat, harga labi-labi super bisa mencapai Rp35 ribu per kilo. Hidup kami benar-benar sangat sulit,” kata Amat Nuri, kini berumur 54 tahun. Nuri bercerita sambil bertelanjang dada. Nada suara dan wajahnya, sungguh, tak ingin minta dikasihani.

Sebelum pulang, saya bertanya kepada Amat Nuri, “Bagaimana jika persoalan ini tak juga selesai?” “Kalo dak selesai-selesai jugo, yo pake caro kamilah. Berapo desa yang ado kito terjunkan galo.”

Maksudnya, kalau memang selimut konflik terus mengungkung, biarlah pakai cara mereka sendiri. Mengerahkan semua warga di semua desa yang terpapar konflik, menuntut perusahaan mengembalikan hak tanah ulayat mereka.

 

*Tulisan pertama kali dimuat di pindai pada 31 Desember 2014 dan ditulis lagi dalam buku #Narasi: Antologi Prosa Jurnalisme (2016).

Exit mobile version