Dalam Selimut Konflik

Konflik
Rumah-rumah warga SAD di Pinang Tinggi yang digusur. (DETAIL/Feri Irawan)

PADA Oktober 2013, sebuah tim dari Yayasan CAPPA, Setara, Perkumpulan Hijau, dan AGRA, dimoderatori Sarikat Hijau, pernah menganalisis “Valuasi Ekonomi Sumber Daya Alam” di lima komunitas SAD Batin 9. Kelimanya di dusun Simpang Macan, dusun IV Sungai Beruang, desa Bukit Makmur, desa Pinang Tinggi, dan desa Pompa Air—semuanya di kecamatan Bajubang, Batanghari.

Lima komunitas ini telah berkonflik bertahun-tahun dengan perusahaan. Dalam perhitungan dan metode sederhana organisasi-organisasi itu, total kontribusi kelima komunitas terhadap pendapatan asli daerah kabupaten sekira Rp69 miliar/tahun.

Rincian terendah hingga tertinggi: Simpang Macan Rp201,5 juta, Sungai Beruang Rp1,5 miliar, Pompa Air Rp4,8 miliar, Pinang Tinggi Rp5,1 miliar, dan Bukit Makmur Rp57,4 miliar.

Kusnadi Wirasaputra dari Sarikat Hijau mengatakan, studi kasus ini mengklasifikasikan tiga hal: nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung, dan nilai pilihan.

Menurutnya, indeks terendah ada di Dusun Simpang Macan, dengan melihat penghasilan satu orang sekitar Rp6.434/hari atau Rp193 ribu/ bulan. Perhitungannya, total produksi per tahun Rp201,5 juta dibagi 87 jiwa dibagi 12 bulan dan dibagi lagi 30 hari.

Indeks tertinggi, pendapatan Rp79.710 per hari hari atau Rp2,4 juta/bulan bagi setiap jiwa di Bukit Makmur, sebuah desa transmigrasi yang diretas 20 Januari 1994. Luas desa 8.146 hektar dengan jumlah penduduk sekitar 2.000 jiwa. Aset produksi desa antara lain 3.000 hektar kebun sawit, 10 hektar kebun karet, 300 hektar hutan dan 540 sumur.

“Kami kaget. Tidak menyangka ternyata desa kami kaya raya,” kata Bambang Kriswono, perwakilan dari Bukit Makmur. Pendapatan warga desa melampaui upah minimum provinsi Jambi sebesar Rp1,7 juta.

Apakah artinya pendapatan khusus di Bukit Makmur sudah bisa dikategorikan hidup layak? Menurut Kusnadi, bila dibandingkan konflik dengan perusahaan yang tak kunjung reda, kondisi ini suatu “fakta yang fantastis.”

“Biasanya daerah konflik itu justru membuat ekonomi lumpuh. Ini kan tidak. Mereka masih tetap survive,” ujar Kusnadi.

Namun orang SAD Batin 9 sulit keluar dari kemiskinan. Salah satu faktornya pendidikan. Sekitar 80 persen penduduknya tak pernah mengenyam sekolah formal.

Herman Basir misalnya, memiliki 4 saudara kandung, hanya ia yang menamatkan SMP. Herman kini menikah dengan seorang guru dan ia berkeinginan meneruskan studi paket C dan melanjutkan kuliah.

Perkiraan Herman, hanya 20 persen orang Batin 9 yang pernah sekolah. Ketika mendistribusikan lahan 2.000 hektar, PT Asiatic berjanji memberikan pendidikan gratis. Namun janji itu hingga kini belum tampak. Bangunan sekolah belum didirikan.

Halaman Selanjutnya

Exit mobile version