MEMILIH adalah bagian dari hidup. Di hadapan kita selalu ada pilihan, mulai dari hal yang terkecil sampai hal yang terbesar, mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali. Kita tidak bisa lari dari tindakan memilih, karena hanya dengan cara seperti itu bisa terlepas dari tuntutan moral dan tanggung jawab.
Memilih adalah sebuah tanggung jawab dan sebuah kewajiban mulia. Memilih merupakan sikap untuk menentukan arah jalannya sejarah, sekecil apa pun dan apa pun pilihan itu. Memutuskan untuk memilih atau tidak akan membawa akibat yang panjang, meski tidak terasa secara langsung. Apalagi jika pilihan itu menyangkut nasib bangsa atau masyarakat. Karena itu, dalam menentukan pilihan harus dilakukan dengan cerdas, penuh kewaspadaan dan tanggung jawab serta kesadaran akan implikasinya.
Kesalahan kita dalam memilih calon pemimpin berarti petaka bagi bangsa ini. Sebaliknya, jika kita mengerahkan segenap daya dan upaya untuk mengetahui rekam jejak (track record) calon pemimpin untuk mengetahui siapa yang terbaik di antara mereka, untuk kemudian memilihnya, merupakan ciri-ciri pemilih cerdas dan merupakan angin surga bagi perbaikan bangsa ini.
Untuk itu, pilihlah pemimpin sesuai dengan konteks mentransformasi kesejahteraan masyarakat, yaitu pemimpin yang visi dan misinya menyentuh ‘akar-rumput’ persoalan umat, yang programnya bisa diimplementasikan dan dirasakan oleh setiap anak bangsa dimana pun dia berada tanpa ada diskriminasi.
Saat pilkada serentak kali ini, cerdas dan kritislah terhadap calon pemimpin yang mudah mengobral janji. Seorang calon pemimpin yang banyak memberikan janji jangan langsung dipercaya. Jika akan memilih pemimpin, lebih baik pilihlah orang-orang yang sepanjang hayatnya memberikan bukti daripada yang hanya bisa memberikan janji.
Untuk itu, jangan menentukan pilihan didasarkan pada afiliasi partai politik, kesamaan etnisitas, pragmatisme politik. Pragmatisme ini bisa muncul karena banyak hal, seperti politik uang, kedekatan dengan kandidat, dan sebagainya.
Tapi tentukan pilihan karena visi, misi dan program dan yang penting integritas kandidat. Pemilih harus cerdas dalam memilih pemimpin ke depan yang mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik bagi rakyat. Kecerdasan pemilih akan diuji dalam Pilkada Serentak mendatang, khususnya analisis kritisnya dalam menerjemahkan visi-misi yang pro-rakyat,
Yang ‘paling ideal’ bisa dilakukan pemilih adalah meyakinkan diri bahwa memilih pemimpin itu ibadah yang tak terhitung pahalanya. Supaya ‘ibadah’ ini tidak kehilangan arah, pemilih harus mencari ‘seorang figur’, seorang suri teladan yang menjadi acuan pemilih dalam ‘ibadah’ itu. Figur yang ideal yang bisa dicontoh pada setiap kondisi adalah model pemimpin para Nabi, yang disebut kepemimpinan profetik.
Kepemimpinan profetik adalah model kepemimpinan yang digali dari konsep dan praktik kepemimpinan Rasulullah Saw dalam membangun masyarakat baru yang berdasarkan keyakinan ilahiyah dan prinsip-prinsip ajaran Islam. Kepemimpinan profetik membawa misi kemajuan moral dan spiritual manusia, menanamkan motif-motif kehidupan yang lebih tinggi dan agung, yaitu berupa kualitas kebaikan, keindahan, keadilan, kedermawanan, kehalusan, dan sifat-sifat agung lainnya. Berbekal sifat dan karakter tersebut, maka semua nabi dan rasul sukses membawa perubahan dan kemajuan membangun sikap hidup pengikut dan masyarakatnya sesuai dengan zamannya masing-masing (Mujtahid, 2011).
Micheal H. Hart menempatkan Nabi Muhammad SAW dalam urutan pertama di antara seratus tokoh yang paling berpengaruh. Pilihan ini bukan tanpa alasan. Nabi Muhammad SAW berhasil mengubah sendi-sendi kehidupan manusia. Perubahan yang dilakukan olehnya masih terasa sampai saat ini. Ajarannya senantiasa dilaksanakan terus-menerus oleh umatnya tanpa perubahan apa pun. Bukan janji belaka tetapi bukti nyata yang dapat diterima oleh semua manusia
Idealnya pemilih mempertimbangkan 7 (tujuh) ayat tentang karakteristik pemimpin profetik yang bisa dilakukan yang diadaptasi dari (Mujtahid, 2011):
Pertama, shidiq (jujur). Pemimpin yang profetik mengedepankan integritas moral (akhlak), satunya kata dan perbuatan. Pemimpin yang “shiddiq” selalu bekerja pada kebenaran, tulus, adil, serta menghormati kebenaran yang diyakini pihak lain, bukan merasa diri atau pihaknya paling benar. Dalam memimpin, dia jujur menggunakan model, desain, pendekatan, strategi, metode, prosedur sesuai dengan karakteristik daerah dan masyarakat.
Kedua, amanah. Pemimpin yang profetik mengutamakan nilai-nilai tanggung jawab, dapat dipercaya, dapat diandalkan, jaminan keberhasilan, profesional dalam melaksanakan tugasnya. Dalam bekerja, dia dipercaya, diandalkan karena dia selalu memberi yang terbaik untuk rakyatnya, selalu bertanggung jawab atas amanah yang diberikan dan kerjanya selalu memuaskan semua pihak.
Ketiga, tabligh. Pemimpin yang profetik berinteraksi dan berkomunikasi dengan efektif, memiliki visi, inspirasi dan motivasi yang jauh ke depan. Dia ‘orator’ sejati, bahasanya simpel, mudah dipahami, diamalkan, dan dialami oleh masyarakat. Apa yang disampaikan kepada rakyat selalu menjadi motivasi untuk berkarya.
Keempat, fathanah (cerdas). Pemimpin yang profetik itu punya kecerdasan majemuk: intelektual, emosional dan spiritual. Pemimpin ini tidak pintar tapi cerdas. Pemimpin ini adalah pemimpin pembelajar, mampu mengambil hikmah dari pengalaman, percaya diri, cermat, inovatif dan bermotivasi tinggi. Setiap kata yang keluar dari ‘mulut’ pemimpin selalu membuat masyarakat bahagia.
Kelima, istiqamah (konsisten). Pemimpin yang profetik berprinsip selalu ingin berubah ke arah yang lebih baik. Pemimpin yang istiqamah adalah pemimpin yang taat peraturan, tekun, disiplin, pantang menyerah, bersungguh-sungguh. Dia selalu bekerja cerdas untuk menyejahterakan rakyatnya, dia tidak pernah menyerah.
Keenam, ijtihad. Pemimpin yang profetik selalu berpikir. Setiap permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat, dijadikan media untuk berijtihad mencari solusi terbaik, win-win solution: tidak pihak yang dirugikan, dan tidak ada pula pihak yang memanfaat permasalahan ini untuk keuntungan pribadi.
Ketujuh, muhasabah (intropeksi diri). Pemimpin yang profetik berprinsip tulis apa yang dikerjakan dan kerjakan apa yang ditulis dalam rangka menjadi bahan untuk introspeksi diri. Dia selalu belajar dari kesalahan dan tidak mau mengulangi kesalahan yang sama. Dia bermuhasabah dan berpikir kritis untuk mencari alternatif meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Jadi, karakter seperti Nabi inilah yang semestinya dijadikan referensi dalam memilih pemimpin. Kita memang tidak akan ‘pernah’ menjadi manusia layaknya seorang Nabi, tetapi kita bisa “mengarahkan” dirinya seperti layaknya Nabi khususnya dalam mencari pemimpin.
Mari kita mulai mengidentifikasi mana calon pemimpin yang karakter profetik. Lihat apa dia katakan, perhatikan apa yang pernah dikerjakan, lalu cocokkan, baru menentukan pilihan. Mari mencoba.
*) Penulis adalah seorang pendidik di Madrasah
Discussion about this post