LINGKUNGAN
Dua Perusahaan Batu Bara Mengusik Rumah Suku Anak Dalam

Jalan Khusus Batu Bara
Pencemaran udara, air dan tanah dari proses pengangkutan sampai pembuangan limbah galian (tailing). Aktivitas pengangkutan batu bara di sepanjang jalan dari lokasi tambang sampai ke pelabuhan tidak memakai jalan khusus. Truk pengangkut batu bara menggunakan jalan umum untuk mengangkut hasil tambang batu bara tersebut.
Walau ditutupi terpal, debu-debu dari proses pengangkutan tercecer di sepanjang jalan. Tersebar ke pemukiman penduduk yang berada di sepanjang jalan. Kecelakaan lalu lintas juga sering terjadi di sepanjang jalan pengangkutan batu bara menuju pelabuhan. Kerusakan jalan dan jembatan salah satunya disebabkan oleh muatan truk batu bara yang melebihi tonase.
Walaupun sudah ada peraturan Gubernur Jambi Nomor 18 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengangkutan Batu Bara, pasca diterbitkan peraturan ini masih saja ditemui truk bermuatan batu bara yang melintas di jalan raya tidak pada jam yang sudah diatur di dalam peraturan tersebut.
Air dari genangan lubang tambang disedot dan dialirkan ke sekitar IUP tambang. Menyerap melalui tanah hingga ke sungai-sungai dan hal ini berlangsung setiap hari. Ketika musim hujan datang, genangan air dalam lubang tambang bercampur dengan semua jenis logam berat baik yang tercampur dengan batu bara atau timbul sebagai akibat dari peningkatan asam tambang batu bara itu sendiri.

LUBANG PENGEBORAN: Pendamping bersama MHA SAD Desa Muara Kilis melihat lubang bekas pengeboran PT BEP. (DETAIL/Syahrial)
Masyarakat yang berada di sekitar tambang rata-rata sudah pernah mengeluhkan kulit mereka yang mulai terserang gatal-gatal akibat mandi disungai yang di hulunya terdapat IUP tambang batu bara.
Kerusakan bentang alam akibat penambangan terbuka (open pit), muncul lubang-lubang menganga yang tidak direklamasi pascatambang. Padahal salah satu hal yang harus dipenuhi oleh pemegang IUP batu bara adalah mereklamasi IUP pasca berakhirnya izin.
Terakhir, selama proses produksi dan produk yang dihasilkan dari pertambangan meningkatkan emisi karbon dioksida (CO2) atau konsentrasi GRK di atmosfer, sehingga memicu terjadinya perubahan iklim akibat meningkatnya laju pemanasan global.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Toni Samiaji, peneliti bidang komposisi Atmosfer LAPAN menunjukkan jumlah net CO2 dalam ribuan ton yang disumbangkan oleh Provinsi Jambi berjumlah 3.799 dan yang menjadi salah satu yang berkontribusi terkait emisi CO2 ini adalah proses industri termasuk di dalamnya pertambangan batu bara.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah semua perizinan pertambangan berdampak pada daya dukung dan daya tampung lingkungan, merusak ekosistem dan bentang alam, apalagi dengan skema pinjam pakai kawasan hutan. Lalu untuk apa program perhutanan sosial yang digadang oleh pemerintah rezim ini jika kawasan hutan yang tersisa, wilayah kelola dan wilayah hidup orang rimba akan dialih fungsikan menjadi pertambangan batu bara.
Dengan catatan yang dibeberkan di atas, Direktur WALHI Jambi, Abdullah mengatakan bahwa masyarakat tidak boleh berdiam diri, harus segera disadarkan dan diberi pengetahuan yang cukup terkait persoalan dan dampak yang akan ditimbulkan dari rencana pertambangan batu bara ini.
“Tolak eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang akan menyengsarakan rakyat. Pemerintah Kabupaten Tebo juga harus berpihak kepada rakyat. Jangan hanya memikirkan investasi dan keuntungan semata,” kata Abdullah.
Persoalan rencana kegiatan tambang batu bara ternyata telah diketahui Bupati Tebo, Sukandar lewat Kapolres Tebo. “Kapolres Tebo minta bupati memfasilitasi penyelesaian persoalan ini,” kata orang nomor satu di Kabupaten Tebo ini.
Surat tersebut sudah diteruskan Sukandar kepada Wakil Bupati-nya, Syahlan Arfan. Dia minta kepada Syahlan segera mengumpulkan semua pihak untuk mencari solusi atas permasalahan tersebut.
“Kita adakan FGD terkait solusi persoalan yang terjadi di Muara Kilis antara penambang, Suku Anak Dalam dan masyarakat sekitar,” ujarnya.
Sukandar berkata, walaupun tambang adalah wewenang provinsi, dia minta pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) proaktif berkoordinasi dengan pemerintah daerah. Masalahnya, lokasi yang bakal dijadikan kawasan tambang berada di Kabupaten Tebo.
Sukandar memastikan hingga kini, pemilik IUP yang akan melakukan penambangan belum ada berkoordinasi dengan pemerintah daerah.
“Jangan pada saat menghadapi persoalan saja pemilik IUP baru mau koordinasi. Jika masuk ya lapor, jangan pas ada masalah saja lapor ke bupati untuk minta diselesaikan. Jadi saya minta kepada pemilik IUP agar proaktif dengan pemerintah daerah untuk menyelesaikan permasalahan yang tengah dihadapi. Juga lakukan koordinasi dengan pendamping MHA SAD di sana,” katanya.
Reporter: Syahrial
Editor : Jogi Sirait
LINGKUNGAN
PLTU Milik PT Permata Prima Elektrindo Diduga Cemari Sungai Ale, Sudah Dilaporkan Namun Belum Ada Perubahan

DETAIL.ID, Sarolangun – PLTU milik PT Permata Prima Elektrindo (PPE) yang berlokasi di Desa Semaran, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun, diduga telah mencemari ekosistem Sungai Ale melalui pembuangan limbah Fly Ash dan Bottom Ash (FABA). Hal ini terungkap dari hasil investigasi Lembaga Tiga Beradik (LTB) pada Selasa, 3 Juni 2025.
Tim LTB menemukan bahwa limbah FABA diangkut menggunakan kendaraan roda empat dan dibuang ke lahan terbuka seluas sekitar 1,3 hektare hanya berjarak 40 meter dari anak Sungai Ale. Lokasi pembuangan tersebut merupakan area rawa yang rawan banjir dan seharusnya menjadi daerah resapan air tanah.
“Kegiatan ini bertentangan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 19 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengelolaan Limbah Non-Bahan Berbahaya dan Beracun, khususnya Pasal 25 ayat 4 huruf b serta Pasal 28 ayat 1 huruf b dan e,” ujar Manager Advokasi LTB, Deri lewat keterangan tertulisnya.
Dampak dari aktivitas ini dirasakan langsung oleh masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada Sungai Ale. Air sungai kini tercemar lumpur hitam limbah FABA, yang jika digunakan bisa membahayakan kesehatan.
Deri menegaskan bahwa jika kondisi ini terus dibiarkan tanpa penindakan dari pihak berwenang, pencemaran bisa meluas hingga Sungai Tembesi yang menjadi hilir dari Sungai Ale.
“Pada Mei 2024 lalu, luapan Sungai Tembesi mencapai lokasi pembuangan limbah FABA dan membawa lumpur hitam yang menyebabkan kerusakan ekosistem di Sungai Ale,” katanya.
Menurut Deri, laporan sudah disampaikan kepada perwakilan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sarolangun pada kegiatan Sedekah Bumi tahun 2024 di RT 06, pintu masuk menuju lokasi PLTU. Namun hingga kini belum ada respons atau tindakan konkret.
“Kami menilai bahwa Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sarolangun lalai dalam menjalankan tugas pengawasan terhadap aktivitas PLTU Semaran milik PT Permata Prima Elektrindo. Oleh karena itu, kami menuntut agar perusahaan diberi sanksi tegas oleh pihak terkait,” katanya. (*)
LINGKUNGAN
Walhi Jambi Laporkan Jamtos, JBC, dan Roma Estate ke Polda Terkait Dugaan Perusakan Sungai

DETAIL.ID, Jambi – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi melaporkan tiga proyek pembangunan besar di Kota Jambi ke Kepolisian Daerah (Polda) Jambi atas dugaan pelanggaran lingkungan hidup pada Jumat, 30 Mei 2025.
Ketiga proyek tersebut adalah Jambi Town Square (Jamtos), Jambi Business Center (JBC), dan Perumahan Roma Estate. Walhi menilai, pembangunan ketiganya telah mengubah bentang alam sempadan Sungai Kambang dan menyebabkan kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS).
Fokus utama laporan tertuju pada pembangunan Jamtos yang diduga menutup aliran Sub Sungai Payo Sigadung atau Sungai Kambang dan menggantinya dengan saluran tertutup (gorong-gorong). Kondisi ini dinilai melanggar tata ruang dan aturan lingkungan serta meningkatkan risiko banjir di kawasan Mayang.
Berdasarkan overlay citra historis Google Earth tahun 2002 hingga 2025, kawasan Jamtos sebelumnya merupakan hutan dan sempadan sungai alami. Kini, jalur sungai tersebut tertutup bangunan beton, menghilangkan fungsi alaminya sebagai saluran limpasan air.
Walhi menilai pembangunan itu melanggar sejumlah peraturan, antara lain Undang-Undang No 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, PP No 38 Tahun 2011 tentang Sungai, Permen PUPR No 28 Tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai, serta Perda Kota Jambi No 9 Tahun 2013 dan No 5 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah.
Selain Jamtos, pembangunan JBC dan Roma Estate juga diduga turut mengubah alur sungai dan menutup wilayah resapan air yang penting bagi kestabilan ekologis kota Jambi.
Direktur Walhi Jambi, Oscar Anugrah, menyatakan bahwa pembangunan yang tidak memperhatikan aturan lingkungan dan tata ruang merupakan bentuk kelalaian serius.
“Kami meminta dan mendesak Kapolda Jambi melalui Direktorat Kriminal Khusus untuk segera memeriksa pihak pengembang JBC, Jamtos, dan Roma Estate, serta pihak pemerintah yang memberikan izin atas pembangunan tersebut. Kami tidak akan berdamai bagi siapa saja yang merusak alam dan lingkungan yang berpotensi terhadap kerusakan ekologi,” ujar Oscar.
Hingga berita ini ditulis, belum diperoleh tanggapan resmi dari pihak pengembang maupun instansi terkait laporan tersebut. (*)
LINGKUNGAN
Perkumpulan Hijau Bakal Laporkan Tambang Batu Bara PT GAL di Tebo Atas Pencemaran Lingkungan

DETAIL.ID, Jambi – Setelah PT Bumi Bara Makmur Mandiri (BBMM) yang sampai saat ini masih dalam proses penyelidikan Polda Jambi, Perkumpulan Hijau (PH) kembali menemukan indikasi kejahatan lingkungan akibat aktivitas industri ekstraktif batu bara yaitu PT Globalindo Alam Lestari (GAL).
Perusahaan tambang batu bara yang berada di kawasan Desa Suo Suo, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo tersebut menjadi ancaman serius untuk lingkungan dan masyarakat, akibat aktivitas tambang batu bara yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari permukiman warga.
Direktur Perkumpulan Hijau, Feri Irawan menyoroti dampak yang ditimbulkan dari tambang batu bara yang sangat dekat permukiman warga tersebut, mulai dari ketimpangan sosial hingga ancaman terhadap lingkungan dan ketahanan pangan.
“Risiko hadirnya tambang batu bara pasti akan mengintimidasi ruang hidup masyarakat karena di mana ada tambang, pasti ada kesengsaraan,” ujar Feri dalam pernyataannya.
Ia menegaskan bahwa situasi di Desa Suo Suo mencerminkan bagaimana masyarakat dikorbankan atas nama eksploitasi sumber daya alam. Menurut Feri, ketidakpatuhan perusahaan tambang terhadap aturan jarak minimal dari permukiman merupakan bentuk kejahatan pertambangan yang nyata.
“Ketidakpatuhan perusahaan pada aturan tentang jarak minimal pun menjadi salah satu tolak ukur kejahatan pertambangan,” katanya.
Selain ancaman terhadap lingkungan dan pertanian, aktivitas tambang yang begitu dekat juga meningkatkan risiko kesehatan bagi warga sekitar. Polusi udara dari debu tambang, pencemaran air, serta potensi longsor akibat pengerukan tanah menjadi kekhawatiran utama yang dihadapi masyarakat.
Bukan hanya itu, Perkumpulan Hijau melihat PT Globalindo Alam Lestari (GAL) dituding telah menyebabkan pencemaran dan membunuh sejumlah ekosistem sungai di sekitar konsesinya.
Hasil investigasi Perkumpulan Hijau menemukan pembuangan atau pengeringan air dari bekas tambang baru yang sedang beroperasi melalui selang mengarah dan mengalir ke Sungai Batanghari, air bekas tambang yang seharusnya dialiri ke settling pond untuk mengurai zat atau bahan kimia bekas tambang yang terkandung dari air bekas tambang baru.
Dalam hal ini jelas ungkap Feri, sanksi pelanggaran UU Lingkungan terkait settling pond, dapat berupa sanksi pidana maupun sanksi administratif, tergantung pada jenis pelanggaran dan tingkat keparahannya. Sanksi pidana meliputi penjara dan denda, sedangkan sanksi administratif meliputi teguran tertulis, pembekuan izin, atau pencabutan izin.
Feri menambahkan, dalam izin PT GAL ini terlihat jelas lobang bekas galian tambang yang menganga luas, tidak ada bentuk tanggung jawab terhadap dampak akibat dari ekploitasi tambang yang dilakukan secara masif.
“Berdasarkan analisis Tim GIS ‘Perkumpulan Hijau mencatat luasan lobang tambang yang tidak direklamasi oleh PT Globalindo Alam Lestari (GAL) ialah luas lobang tambang 7,64 hektare dan luas lahan yang terbuka 10,97 hektare.
Feri menegaskan, jika tindakan kejahatan lingkungan ini tidak segera dihentikan, maka kehancuran dan bencana tinggal menunggu waktu. Perkumpulan Hijau mendesak pemerintah, Polda Jambi, Mabes Polri, khususnya inspektorat tambang, menteri lingkungan hidup untuk segera mengevaluasi praktik tambang yang berlangsung di Desa Suo Suo. Feri menekankan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi warga dari dampak buruk pertambangan dan memastikan keselamatan mereka.
“Perkumpulan Hijau juga mendesak pemerintah selaku pemberi izin, untuk mengevaluasi praktik tambang yang ada dan membebaskan area masyarakat dari wilayah tambang agar dapat memberikan jaminan pada keselamatan masyarakat sekitar,” katanya.
Terkait kemungkinan sanksi, Feri menyebut bahwa pencabutan izin merupakan bentuk hukuman tertinggi yang bisa diberikan terhadap perusahaan yang melanggar aturan. Namun, hingga saat ini, belum ada pencabutan izin yang terjadi di wilayah tersebut.
Dalam hal ini, Perkumpulan Hijau akan segera melaporkan temuan di lokasi PT GAL ini ke Polda Jambi untuk dilakukan tindakan.
“Kami akan laporkan PT GAL ini atas tindakan kejahatan pencemaran lingkungan,” katanya. (*)