Perkara illegal logging di hutan lindung gambut belum juga kelar. Plus, dirundung dua perkara lain: kebakaran dan perambahan lahan. Di tengah tiga perkara itu, muncul wacana pengelolaan hutan lindung gambut melalui skema HTI. Berbagai lembaga pun menolak.
DATA luas lahan gambut di Provinsi Jambi ada dua versi. Versi pertama merujuk pada data Dinas Kehutanan Provinsi Jambi tahun 2018, yaitu 736.227,2 hektare, terbesar ke-3 di Pulau Sumatra. Versi kedua, merujuk data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), luas lahan gambut 716.838 hektare.
“Mengapa bisa beda, bisa jadi saat digitasi peta. Tingkat erornya bisa tinggi,” ujar Abdullah pada Selasa 15 Maret 2021.
Menurut Direktur Walhi Jambi, Abdullah, angka ini diperoleh dari hasil olah data SHP Gambut oleh Walhi pada tahun 2020. SHP adalah format data vektor yang digunakan untuk menyimpan lokasi, bentuk, dan atribut dari fitur geografis.
Meski berbeda, yang pasti lahan gambut di Provinsi Jambi tersebar di 6 kabupaten yaitu Tanjungjabung Timur, Tanjungjabung Barat, Sarolangun, Merangin, Muarojambi dan Tebo. Yang terluas berada di Tanjungjabung Timur yakni 311.992,10 hektare. Artinya, Tanjungjabung Timur memiliki 42 persen atau nyaris separuh dari total luas lahan gambut di Provinsi Jambi.
Salah satu bagian penting dari kawasan lahan gambut ialah Hutan Lahan Gambut (HLG). Provinsi Jambi sendiri memiliki 3 HLG yakni, HLG Londerang, HLG Sungai Buluh dan HLG Sungai Bram Itam. Luas HLG Londerang sebesar 12.484 hektare yang berada di Kabupaten Tanjungjabung Timur dan Muarojambi. HLG Sungai Buluh yang terletak di Kabupaten Tanjungjabung Timur memiliki luas 17.476 hektare. Dan HLG Bram Itam yang berada di Kabupaten Tanjungjabung Barat dengan luas 15.965 hektare.
Luasnya lahan gambut di Provinsi Jambi ternyata menyimpan permasalahan yang belum terurai dan terselesaikan. Menurut Direktur Eksekutif KKI Warsi, Rudi Syaf, permasalahan kawasan lahan gambut masih sama.
“Kalau Hutan Lindung Gambut ada perambahan dan illegal logging. Itulah isu utama Hutan Lindung Gambut. Di HLG itu kan tidak boleh berladang. Kalau ada yang berladang artinya itu perambahan. Di beberapa titik seperti HLG Sungai Bram Itam bahkan sawit masuk. Ini perambahan dari perorangan. Total perambahan mencapai 30 persen (dari luasan HLG Sungai Bram Itam),” ujar Direktur Eksekutif KKI Warsi, Rudi Syaf pada Selasa 15 Maret 2022.
“Kerusakan Hutan Lindung Gambut paling parah berada di HLG Londerang. Tahun 2019 bisa dibilang terjadi kebakaran hutan parah mencapai 80 persen. Dampak kebakaran ini cukup berat, sehingga sampai hari ini belum ada yang tumbuh. Perkembangannya, mulai ada perambahan dengan penanaman tanaman sawit. Namun jumlahnya masih kecil, karena tingkat keasamannya tinggi akibat kebakaran hutan yang parah. Sebelum kebakaran hutan ini, perambahan hutannya lebih tinggi dari HLG Sungai Bram Itam. Diperkirakan mencapai 40 persen,” ucap Rudi.
Sementara itu, di HLG Sungai Buluh, Tanjungjabung Timur menurut Rudi cukup berhasil dan terbilang lebih terselamatkan dengan kehadiran hutan desa. Pada 26 Desember 2018, dokumen legalitas pengelolaan Hutan Desa (HPHD) seluas 1.185 hektare diserahkan Presiden Joko Widodo melalui Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Desa Pematang Rahim.
“Di dalam hutan lindung itu diberikan izin hutan desa. Di sana, sawit ada tetapi relatif kecil. Paling kuat 10 hektarelah,” tutur Rudi.
Di sana sempat dibuka masyarakat untuk menanam kelapa dan pinang. Namun, sejak diberikan hutan desa, mulailah ditanami tanaman campuran. “Jadi yang awalnya kelapa, di antaranya diisi jelutung rawa. Begitu pun tanaman sawit dan pinang, di antaranya disisipi jelutung rawa. Tanaman utama yang cocok untuk lahan gambut itu ialah jelutung rawa,” katanya.
Selain jelutung rawa, diperkaya juga dengan tanaman lada yang memiliki tipikal tanaman merambat. Tanaman lada ini ditanami di bawah pinang atau tanaman jelutung rawa yang sudah berumur 3 tahun.
Di antara ketiga HLG, lahan gambut yang terdalam berada di HLG Londerang yang mencapai kedalaman 20 meter.
“Dari semua HLG itu, relatif semuanya dalam. Rata-rata di atas 3 meter kedalamannya,” kata Rudi menambahkan.
Di HLG Londerang agak terbantu dengan adanya pemantauan secara digital oleh Polisi Kehutanan (Polhut). Di sana dipasang kamera digital untuk memantau.
“Upaya-upaya pembukaan lahan dan perambahan itu menjadi terpantau dan terkondisikan dengan adanya pemantauan digital tersebut,” kata Rudi.
Ia menambahkan, di HLG Londerang pun ada juga pengelolaan hutan desa oleh masyarakat. Namun kondisinya sudah sangat berat. “Hutan desa di sana bisa dibilang terbakar 100 persen, tahun 2019 itu,” ucapnya.
Mengenai perambahan hutan, di HLG Londerang Rudi menyebut sudah tidak ada lagi. Namun di HLG Sungai Buluh masih ada illegal logging skala kecil. “Jadi kayu itu keluar sudah dalam bentuk jadi, sehingga agak repot untuk mengetahuinya,” tuturnya.
Solusi Lahan Gambut dan Hutan Lindung Gambut
Adanya kawasan Hutan Lindung Gambut karena area tersebut merupakan lahan gambut dalam. “Karena dia gambut dalam, maka dilindungi. Kita tahu, gambut dalam ini tidak bisa dikelola oleh manusia. Kalau misalnya ditanami sawit, sawitnya pasti miring, tumbuhnya batangnya miring karena akarnya tidak ketemu dengan tanah mineral. Yang bisa itu tanaman-tanaman yang memang tumbuh di gambut, seperti jelutung rawa. Karena memang dia hidup di air, sistem akarnya beda,” kata Rudi.
Jadi, menurut KKI Warsi, Hutan Lindung Gambut harus terus dipertahankan sebagai hutan. Namun wacana akhir-akhir ini, hutan tersebut tidak ada yang mengelola.
“Secara perundang-undangan kawasan HLG berada di bawah KLHK untuk mengelolanya bersama dengan pemerintah daerah, dalam hal ini adalah Polisi Kehutanan (Polhut). Ketika kebakaran hebat 2019 muncul wacana agar HLG bisa dikelola, Warsi setuju dengan adanya pengelolaan ini. Tapi, kami tidak setuju jika HLG dikelola sebagai HTI,” katanya.
Lahan gambut dalam akan semakin hancur jika dikelola dengan skema Hutan Tanaman Industri (HTI). Karena menurutnya, pasti akan melalui proses pengeringan. Gambut akan terus tergerus menjadi tipis. Hingga pada akhirnya lahan gambut akan berubah menjadi danau. Jika ini terjadi, maka lahan ini tak akan pernah bisa difungsikan lagi.
Sementara itu, Direktur Walhi Jambi, Abdullah menyebut kawasan lahan gambut secara umum, selain fungsinya yang belum pulih, masih belum tampak juga restorasi gambut yang berhasil. “Baik itu yang di konsesi/izin perusahaan, atau di zona budi daya,” ujar Abdul.
Walhi menilai, perlu rekonstruksi ulang perizinan di wilayah gambut. “Apalagi yang berada di zona lindung/kubah gambut, pengurangan izin perusahaan HTI dan perkebunan sawit untuk restorasi gambut. Serta penegakan hukum terhadap perusahaan yang konsesinya terbakar dan tidak ada sarana dan prasarana pencegahan kebakaran hutan dan lahan,” kata Abdul.
Reporter: Febri Firsandi
Discussion about this post