Pemerhati anak, Retno Listyarti menyebut rata-rata anak yang menikah akibat hamil lebih dulu masih duduk di bangku SMP dan Sekolah Menengan Atas.
Retno merujuk pada catatan Pengadilan Agama Ponorogo. Pada tahun 2021, ada 266 permohonan dispensasi menikah di bawah umur. Lalu pada 2022, ada 191 permohonan dispensasi menikah.
Permohonan dispensasi itu diajukan semoga dibolehkan menikah sebelum berusia 19 tahun mirip dikontrol dalam UU No. 1/1974 perihal Perkawinan jo. UU No. 16 Tahun 2019 Tentang Pernikahan.
Bahkan pada pekan pertama tahun 2023, sudah ada 7 permohonan dispensasi menikah Pengadilan Agama Ponorogo. Semuanya dikabulkan sebab ketujuh perkara tersebut menyanggupi komponen mendesak bahkan ada yang sudah melahirkan.
Retno menganggap fenomena itu mungkin saja terjadi akibat dari pergaulan bebas oleh sampaumur yang didasari kurangnya pengetahuan wacana seks yang benar.
“Pendidikan kesehatan reproduksi secara sinergi mampu dilaksanakan pada anak-anak oleh guru di lingkungan sekolah dan orangtua di lingkungan keluarga, semua harus berkolaborasi mencegah karena menghalangi lebih baik ketimbang mengobati,” kata Retno lewat keterangan tertulis, Jumat (13/1).
Menurutnya, pendidikan mengenai kesehatan reproduksi perlu digencarkan biar dewasa lebih bijak dan mampu menghindari perilaku asusila.
Perlu pula diberikan pengertian imbas-imbas dari sikap asusila yang merugikan wanita sepanjang hidupnya.
“Anak wanita jadi kehilangan semua haknya untuk berkembang dan meningkat secara optimal, mirip hak atas Pendidikan, hak atas Kesehatan yang terbaik sebagai anak, hak bermain, hak bersosialisasi dan berbagi diri, dll,” kata Retno.
Terpisah, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas menganggap kabar ratusan pelajar yang masih berusia bawah umur hamil di luar nikah di Ponorogo, Jawa Timur sebagai keadaan yang memalukan.
“Berita tentang adanya ratusan anak di Ponorogo Jawa Timur hamil di luar nikah terperinci sungguh mengejutkan dan memalukan kita selaku bangsa,” kata Anwar dalam keterangannya, Jumat (13/1).
Anwar merefleksikan fenomena ini selaku tanda gagalnya mendidik bawah umur Indonesia untuk memiliki etika dan budi pekerti baik. Kesalahan ini tidak bisa dipikul sendirian oleh pihak sekolah dan orang tua, melainkan kepada masyarakat dan pemerintah.
“Karena selama ini kita lihat semua kita cuma sibuk memikirkan duduk perkara ekonomi dan politik saja dan abai kepada persoalan agama dan budaya yang mesti tanamkan dengan baik terhadap belum dewasa kita,” kata dia.
(rzr/bmw)