Sebelumnya, dalam berbagai unggahan media umum lokal tampak pegunungan dan tanah datar di Mekkah menghijau bak wilayah tropis. Netizen lantas mengaitkannya dengan gejala kiamat.
Sementara, para andal klimatologi menilai fenomena itu wajar di gurun sesudah curah hujan yang tinggi.
Masalahnya, jika hujan itu terjadi terus-kanal, apakah itu memiliki arti faktual bagi lingkungan gurun?
Peneliti mengatakan hujan mampu menimbulkan ekosistem rusak dari penelitian mereka di Gurun Atacama, Chile, berjudul ‘Unprecedented rains decimate surface microbial communities in the hyperarid core of the Atacama Desert’.
Dalam jurnal yang diterbitkan pada 2018 di Scientific Reports itu, Alberto Fairén dan rekan-rekannya menemukan populasi mikroba di gurun ini menurun drastis setelah kawasan tersebut diguyur hujan terus-menerus.
Gurun Atacama diperkirakan tetap dalam kondisi hyperarid atau sangat kering yang nyaris permanen selama sekitar 15 juta tahun, dan tidak ada catatan tentang curah hujan yang signifikan dalam 500 tahun terakhir.
Hal tersebut berubah datang-datang beberapa tahun yang kemudian, saat gurun mengalami peristiwa hujan yang sangat jarang terjadi pada bulan Maret dan Agustus 2015, serta Juni 2017.
Kemarau panjang memang terhenti. Namun, beberapa hal lain rusak, salah satunya bentuk kehidupan yang telah berevolusi untuk bertahan dalam ekosistem yang sangat gersang. Bentuk kehidupan ini tidak dapat beradaptasi pada pergeseran mematikan yang datang-tiba.
“Saat hujan turun di Atacama, kami berharap bunga mekar yang megah dan gurun yang hidup kembali,” ujar Fairén yang merupakan hebat astrobiologi dari Cornell University dan Centro de Astrobiología Spanyol, mirip dikutip ScienceAlert.
“Sebaliknya, kami mencar ilmu sebaliknya, alasannya kami memperoleh bahwa hujan di inti hyperarid Gurun Atacama menjadikan kepunahan besar-besaran sebagian besar spesies mikroba asli di sana.”
Kejutan yang mematikan
Sebelum hujan datang ke Atacama, sampel tanah yang diambil dari daerah Yungay yang terletak di inti gurun menunjukkan eksistensi 16 spesies mikroba yang berlainan.
Karena karakteristiknya yang sunyi, area tersebut sering dipelajari selaku semacam simulasi untuk penelitian soal peluangkehidupan di Mars. Salah satu kemiripannya adalah lingkungan Atacama yang tidak ramah.
Hujan kemudian meninggalkan genangan air di lanskap yang cuma pernah mengenal kata kekeringan.
Analisis tanah memberikan populasi mikroba Yungay telah mengalami kepunahan massal dengan hilangnya sekitar 75 sampai 87 persen spesies dari total yang dilaporkan sebelumnya.
“Setelah hujan, cuma ada dua hingga empat spesies mikroba yang ditemukan di laguna,” kata Fairén.
“Hasil kami menunjukkan untuk pertama kalinya bahwa menawarkan air dalam jumlah banyak secara tiba-tiba untuk mikroorganisme yang disesuaikan dengan sangat baik untuk mengekstrak kelembapan yang sedikit dan sukar diketahui dari lingkungan yang paling kering akan membunuh mereka alasannya adalah kejutan osmotik,” ucapnya.
Kejutan osmotik terjadi saat zat terlarut dalam cairan di sekeliling sel datang-tiba berubah konsentrasinya, yang lalu dengan cepat mengganti cara air mengalir lewat membran sel, dan menyebabkan stres akut.
Banyak spesies sudah berevolusi dengan aneka macam cara untuk mempertahankan diri dari tekanan seluler ini. Namun, mikroba Yungay tidak dapat bertahan dan kini hanya menyisakan populasi 2-4 spesies mikroba.
Meski demikian, temuan tersebut memiliki sisi kasatmata bagi insan, temuan ini menunjukkan wawasan baru yang berharga wacana bagaimana mikrobiota mampu beradaptasi untuk bertahan hidup di dunia aneh yang serupa tandusnya.