Ada banyak teknik pengawetan mayat tradisional di berbagai negara. Masyarakat Sumba, misalnya, menggunakan kapur sirih dan tembakau. Namun, teknik mumifikasi Mesir antik lah yang kerap jadi acuan studi para ahli.
Jana Jones, spesialis Mesir dari Macquaire University, menjajal meneliti mumi yang berposisi telungkup yang kini ada di Museum Mesir di Turin, Italia.
Mumi yang dinamai Fred tersebut awalnya masuk ke dalam klasifikasi mumi alamiah, yang mempunyai arti jasadnya terawetkan secara alami berkat pasir kering dan panas. Namun, observasi Jones menawarkan fakta lain.
Jones mengaku terpana saat mengamati kain pembungkus jasad mumi yang dia perhatikan.
Pasalnya, beliau memperoleh sisa-sisa resin atau materi olahan karet, yang umumnya ditemukan pada mumi yang lebih muda. “Saya merasakan hal yang luar biasa,” katanya mirip dilansir National Geographic.
Jones beserta kolega meneliti mumi itu melalui observasi mikroskopis. Selain itu, mereka juga melakukan penanggalan karbon, analisa metagenomik, dan analisa tekstil.
Butuh waktu 10 tahun bagi Jones untuk merampungkan analisis tersebut. Hasilnya, mereka mendapatkan salep yang dipakai untuk mengawetkan jasad yang dibuat dari gabungan gula, karet, dan resin konifer yang dipanaskan, dan ekstrak flora aromatik.
Resin konifer dan ekstrak tanaman tersebut terbilang penting karena berfungsi untuk mencegah perkembangan mikroba.
Hasil penelitian ini pun telah dipublikasikan di jurnal Elsevier dengan judul, A prehistoric Egyptian mummy: Evidence for an ‘embalming recipe’ and the evolution of early formative funerary treatments
Lebih lanjut, resep-resep ini juga ternyata didapatkan juga pada mumi yang berusia lebih muda yakni 2500 tahun sesudah mumi Fred. “Ini benar-benar mengonfirmasi hasil riset kami sebelumnya. Tidak disangsikan lagi,” kata Jones yang pernah menerbitkan riset serupa di jurnal Plos.
Jones mengatakan salep yang digunakan untuk pembalsaman akan membentuk “semacam pasta berwarna coklat yang lengket”. Oleh pelaku pembalsaman, perban yang akan digunakan untuk membungkus mumi kemudian dioleskan atau dicelup ke salep tersebut.
Di ketika bersama-sama, badan yang mau diawetkan diatur posisinya di atas pasir panas biar variasi dari panas Matahari dan balsam tersebut mempertahankan badan tetap kondusif.
Pada mumi yang hadir belakangan setelah Fred, badan ditaruh telentang jauh dari sinar Matahari. Karena itu, pelaku pembalsaman memerlukan bahan suplemen semacam garam yang disebut natron dan memisahkan otak dan organ lain dari tubuh.
Stephen Buckley yang juga ikut dalam penelitian mengungkapkan, beberapa bahan-bahan yang dipakai mungkin punya makna simbolis pada awalnya. “Tetapi lalu, mereka menyadari bahwa materi-materi itu punya kegunaan untuk mengawetkan,” katanya.