PERKARA
Junalis Dihalangi Saat Liput Kasus Ko Apex, AJI Jambi Mengecam Tindakan Pelaku dan Tuntut Permintaan Maaf

DETAIL.ID, Jambi – Sampai saat ini aksi perintangan atau menghalang-halangi kerja jurnalis masih saja jadi persoalan akut yang kerap terjadi dengan berbagai pola.
Belum lama ini Dimas Sanjaya (25), jurnalis pada salah satu media nasional dihalangi saat proses peliputan kasus dugaan pemalsuan dokumen kapal dan penggelapan yang menyeret terlapor Afandi Susilo alias Ko Apex di Polda Jambi.
Usai pemeriksaan sekitar pukul 22.45 WIB, rombongan Ko Apex keluar dari ruangan penyidik lalu menuruni tangga. Dimas pun langsung menyiapkan kamera. Ia merekam video momen rombongan Ko Apex berjalan di lobi.
Ketika Dimas mengajukan pertanyaan sebagai proses wawancara, Ko Apex terus berjalan dan mengabaikan para jurnalis sementara seorang pria berbaju putih, pengawal Ko Apex, menunjuk ke kuasa hukum. Seorang pria berkemeja motif kotak-kotak pun mengatakan demikian.
“Ke kuasa hukum saja,” ujar pria berkemeja kotak-kotak.
“Ada kuasa hukumnya ya, Bang?” ujar Dimas bertanya.
“Iya,” jawab pria tersebut sembari menggenggam ponsel Dimas.
Pria berkemeja kotak-kotak itu dengan lancang menutup paksa kamera ponsel Dimas yang sedang melakukan kerja-kerja jurnalistik. Seolah tak mau kasus bosnya diliput dan diketahui publik luas.
“Satu pengawalnya yang berbaju kemeja kotak-kotak langsung menggenggam handphone menutupi kamera. Langkah kami terhalangi saat mendekat. Sementara Ko Apex langsung buru-buru jalan ke arah mobilnya,” kata Dimas pada Jumat, 10 Mei 2024.
Sementara ketika Dimas mendekati kuasa hukum Ko Apex untuk wawancara, kuasa hukum malah tidak berkenan.
“Dia langsung berjalan meninggalkan Polda Jambi,” kata Dimas.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jambi pun menyesalkan tindakan orang-orang Ko Apex yang menghalangi kerja jurnalis tersebut. Tindakan yang menimpa Dimas dinilai telah mencederai kebebasan pers.
Perlu diingat, pertama, Indonesia merupakan negara demokrasi yang menjamin kemerdekaan pers sebagaimana dengan amanat Pasal 28f UUD 1945 dan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Pasal 2 UU Pers menyatakan “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum”.
Tindakan penghalangan kegiatan jurnalistik terhadap Dimas Sanjaya jelas-jelas bertentangan dengan semangat demokrasi dan kemerdekaan pers.
Kedua, tindakan intimidasi secara non-verbal yang dilakukan terhadap Dimas Sanjaya merupakan tindakan merusak citra demokrasi Indonesia, khususnya terkait perlindungan dan jaminan ruang aman untuk jurnalis dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
Bahkan tindakan tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran UU Pers Pasal 18 ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.
Dengan ini, AJI Kota Jambi menyatakan sikap:
1. Mengecam tindakan intimidasi dan upaya menghalangi kerja jurnalistik saat meliput kasus dugaan pemalsuan dokumen kapal dan penggelapan dengan Afandi Susilo alias Ko Apex sebagai terlapor.
2. Mendesak agar pelaku meminta maaf secara langsung terhadap Dimas Sanjaya.
3. Mendorong semua pihak menghormati dan memberikan pelindungan hukum terhadap jurnalis yang melaksanakan tugas profesinya berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Jurnalis memiliki hak dan mendapatkan pelindungan hukum dalam hal sedang menjalankan fungsi, hak, kewajiban dan perannya yang dijamin Pasal 8 UU Pers. Pelindungan hukum itu dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat.
4. Mendesak semua pihak termasuk pemerintah berhenti menghalang-halangi dan membatasi pertanyaan jurnalis yang berujung menghambat kegiatan jurnalistik.
Lebih lanjut AJI Indonesia mencatat ada 89 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang tahun 2023. Jumlah kasus kekerasan itu naik dibandingkan 2022 dengan 61 kasus dan 41 kasus pada 2021.
Puluhan kasus itu paling tinggi berupa teror dan intimidasi, yaitu mencapai 26 kasus. Kemudian kekerasan fisik berjumlah 18 kasus, serangan digital sebanyak 14 kasus, larangan liputan sebanyak 10 kasus, penghapusan hasil liputan tujuh kasus, perusakan atau perampasan alat kerja lima kasus, kekerasan seksual lima kasus, dan kriminalisasi maupun gugatan perdata empat kasus.
Pelaku kekerasan terhadap jurnalis kebanyakan ialah 36 aktor negara yang terdiri dari 17 polisi, 13 aparatur pemerintah, 5 TNI, dan 1 jaksa. Lalu, ada 29 pelaku kekerasan non-aktor negara terdiri dari 13 warga, 7 perusahaan, 4 ormas, 4 pekerja profesional, dan 1 oknum anggota partai politik. Namun, ada 24 pelaku kekerasan terhadap jurnalis yang tidak dapat diidentifikasi utamanya pada kasus serangan digital.
Reporter: Juan Ambarita
PERKARA
Orang Tua Korban Pencabulan Masih Tak Terima dengan Vonis Rendah Yanto, Imelda Juga Ungkap Soal Tawaran Duit

DETAIL.ID, Jambi – Imelda masih tak habis pikir dengan vonis ringan 2 tahun penjara yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim pada Yanto alias Risky Aprianto. Orangtua korban pencabulan tersebut bahkan menilai jika Yanto memutarbalikkan fakta sepanjang persidangan.
Dalam pertimbangan hal yang meringankan, sebagaimana Hakim Suwarjo menyebut terdakwa berperilaku sopan dan mengakui perbuatannya di muka persidangan. Juga dibantah oleh Imelda, menurut Imelda Yanto bahkan tidak pernah meminta maaf secara langsung pada keluarganya.
Padahal imbas aksi pencabulan yang dilakukan Yanto terhadap putranya yakni A (14), anak Imelda itu kini mengalami trauma berkepanjangan. Korban yang masih duduk di bangku SMP itu juga disebut kerap mengalami bullying ikhwal peristiwa yang dialaminya.
“Masih (trauma) sampai sekarang. Emosinya tuh kalau dia marah tuh, enggak stabil,” kata Imelda, Sabtu 5 Juli 2025.
Imelda juga mengungkap bahwa semenjak kasus pelecehan sesama jenis yang menimpa anaknya tersebut mulai mencuat di media massa, sampai ditangani polisi hingga bergulir di pengadilan. Rumahnya silih berganti didatangi orang tak dikenal.
Mereka berupaya meloby negoisasi agar kedua pihak bisa berdamai. Dalam negoisasi bahkan Imelda bilang keluarganya pernah dari Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar.
Namun semua tawaran duit gede tersebut diabaikan oleh Imelda bersama keluarga. Mereka takut, perkara serupa bakal kembali berulang kepada anak-anak yang lain. Terlebih pelaku Yanto sendiri disebut tak pernah meminta maaf secara langsung.
“Ado sampai 1 (Rp 1 M), ibu mau berapa Rp 500, Rp 1 M. Itu dikirim lewat WA, saya screnshoot saya kirim ke JPU. Wah banyak yang datang, saya yang ketakutan jadinya. Sampai jam setengah 12 malam datang,” ujarnya.
Sementara itu Ketua LPAI Provinsi Jambi Amsyarnedi Asnawi menyayangkan vonis ringan 2 tahun kepada Yanto. Dia juga bertanya-tanya, kenapa pasal yang dikenakan dalam perkara Yanto bukan Pasal Perlindungan Anak, melainkan Pasal Tindak Pidana Pencegahan Kekerasan Seksual (TPKS).
Padahal menurut Eed sapaan akrabnya, segala unsur telah terpenuhi dalam riwayat perkara. “Seharusnya kalau (pakai) UU Perlindungan Anak jelas itu menyatakan 5 tahun minimal. Kalau pun hakim punya hati nurani, ya minimal 5 tahun pelaku dihukum,” ujar Eed.
Ketua LPAI Provinsi Jambi tersebut pun menegaskan bahwa pihaknya bakal mendorong JPU buat banding. Selain itu ia juga berencana untuk bersurat kepada LPAI pusat. Semua demi mengupayakan agar kasus serupa tak lagi berulang.
Reporter: Juan Ambarita
PERKARA
Tanggapi Vonis Yanto, LPAI: Miris Terhadap Putusan Hakim yang Tidak Berpihak pada Anak

DETAIL.ID, Jambi – Vonis 2 tahun terhadap Yanto alias Risky Apriyanto, oknum ASN pelaku pencabulan anak di bawah umur langsung mendapat sorotan tajam dari Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Provinsi Jambi.
Ketua LPAI Provinsi Jambi, Amsyarnedi Asnawi merasa miris dengan putusan pengadilan yang dalam perkara yang dinilai tidak berpihak terhadap anak, dimana Majelis Hakim yang mengadili perkara memilih menjatuhkan pidana dengan menitikberatkan pada pelecehan seksual dibanding perlindungan anak.
“Ini kasus sodomi yang dilakukan orang dewasa terhadap anak di bawah umur tentunya seharusnya hakim harus berpedoman pada UU Perlindungan Anak Nomor 35/2014 yang mana prinsipnya anak berhak atas perlindungan dari kekerasan, eksploitasi, penelantaran dan korban seksual,” kata Amsyarnedi menanggapi putusan pada Kamis, 3 Juli 2025.
Lebih lanjut Ketua LPAI Jambi itu bilang, bahwa jika hakim mengacu pada UU PA, terdakwa bisa diputus serendah-rendahnya 5 tahun pidana penjara atau maksimal 15 tahun.
Dia pun menilai bahwa keluarga korban sudah selayaknya banding atas putusan pengadilan tingkat pertama tersebut.
“Harus banding dan LPAI mengharapkan di pengadilan banding, hakim akan memutuskan hukuman maksimal,” ujarnya.
Sementara ibu korban yakni Imelda, usai sidang dengan penuh emosi tak terima atas vonis rendah yang diberikan hakim pada terdakwa. Dengan lantang dia menuding hakim telah bermain dalam perkara anaknya.
“Dak puas aku, 2 tahun katanya. Aku dak puas nian. Masa percobaan pula 2 tahun tuh. Bermain berarti hakim tu. Pikirkan macam mano kalau anaknya yang dikayak gitukan. Biso dak dia ngasih hukuman segitu. Dak terimo, banding aku,” ujar Imelda.
Reporter: Juan Ambarita
PERKARA
Sidang Korupsi Pupuk Subsidi Bungo: Terungkap Pungutan Tak Berdasar, Direktur BUMD Berkali-Kali Ditegur Hakim

DETAIL.ID, Jambi – Sidang lanjutan kasus dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) penyaluran pupuk subsidi tahun anggaran 2022 di Kabupaten Bungo kembali digelar di Pengadilan Tipikor Jambi, Kamis 3 Juli 2025. Persidangan kali ini menghadirkan Direktur BUMD PT Bungo Dani Mandiri Utama (BDMU), Mayrizal sebagai saksi.
Dalam kesaksiannya, Mayrizal menyebut bahwa PT BDMU ditunjuk langsung oleh PT Pupuk Indonesia sebagai distributor pupuk subsidi di Bungo berdasarkan Surat Perjanjian Jual Beli (SPJB). Namun, ia berdalih tidak mengetahui secara rinci jumlah pengecer yang bekerja sama dengan BDMU. Informasi tersebut kemudian dijelaskan oleh Manajer BDMU, Rudianto, yang menyebut terdapat 34 pengecer pada tahun 2022, termasuk terdakwa Sri Sumarsih dari CV Abipraya.
Dalam sidang terungkap bahwa CV Abipraya juga terdaftar sebagai pengecer di distributor lain, yakni CV Kilya.
Hakim Ketua Anisa Brigdestirana mempertanyakan keabsahan status ganda tersebut. Rudianto menjelaskan, pengecer bisa bekerja sama dengan lebih dari satu distributor bila berasal dari produsen berbeda. Ia juga menyebut penunjukan CV Abipraya disetujui langsung oleh Mayrizal selaku Direktur BUMD.
Distribusi pupuk subsidi merujuk pada data Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) dan batas maksimal pembelian. Di Kecamatan Bathin II Babeko, kuota tahun 2022 ditetapkan ZA 334 ton, SP36 332 ton, NPK 664 ton, organik 264 ton, dan organik cair 2.800 liter. Seluruh penebusan dilakukan melalui sistem daring seperti aplikasi T-Puber untuk pengecer dan WCM untuk distributor.
Namun, dalam persidangan terungkap dugaan pungutan liar dalam proses distribusi. Distributor diduga memungut biaya bongkar muat dan injak gas sebesar Rp 70 per kilogram kepada pengecer, meskipun tidak tercantum dalam SPJB. Sementara itu, distributor disebut memperoleh keuntungan hingga Rp 200 per kilogram dari harga produsen.
Saat dicecar hakim, Mayrizal mengklaim bahwa BUMD telah membayar biaya angkut kepada pihak ekspedisi. Namun, kesaksian Aprizal selaku perwakilan ekspedisi membantah pernyataan tersebut. Ia menegaskan bahwa seluruh ongkos angkut ditanggung oleh pengecer, bukan oleh BDMU.
“Yang kita bayar ongkos angkut saja, dan itu langsung dari pengecer, bukan dari BUMD,” kata Mayrizal.
Hakim Anisa pun beberapa kali menegur keras Mayrizal karena terus memotong jalannya persidangan dan berusaha mengarahkan penjelasan.
“Saudara jangan atur-atur saya. Saya yang pimpin sidang ini. Saudara sebagai direktur harus bertanggung jawab sampai ke bawah,” ujar hakim Anisa.
Lebih jauh, terungkap bahwa upah bongkar muat telah menjadi kesepakatan tidak tertulis antara BDMU dan para penyalur. Rudianto menyebut kesepakatan itu disampaikan dalam sosialisasi yang dihadiri oleh Mayrizal. Meski demikian, Mayrizal tetap membantah telah memberi perintah penarikan biaya dari pengecer.
Dalam kesempatannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejari Bungo Silfanus, menanyakan jumlah pupuk subsidi yang ditebus oleh Sri Sumarsih sepanjang tahun 2022. Mayrizal mengaku tidak ingat dan menyatakan seluruh data telah disita penyidik.
JPU juga mempertanyakan bukti penyaluran pupuk subsidi kepada petani. Rudianto menjawab bahwa pelaporan hanya dilakukan melalui grup WhatsApp. Ia pun mengaku tidak pernah menerima laporan monitoring dan evaluasi dari tim Verval Kecamatan.
Sementara itu, kuasa hukum terdakwa menggali lebih lanjut soal keuangan BDMU, hingga jumlah penyaluran pupuk subsidi Bungo sepanjang 2022. Dalam kesaksiannya, Mayrizal mengaku tidak mengetahui secara detail alur keuangan BUMD, terungkap juga bahwa bendahara perusahaan adalah anak kandungnya sendiri.
“Saya direktur tapi tidak tahu semuanya. Hanya tahu garis besarnya saja,” katanya.
Sidang akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi lanjutan.
Reporter: Juan Ambarita