LINGKUNGAN
Catatan Akhir Tahun Walhi Jambi: Konflik SDA Temui Jalan Buntu
DETAIL.ID, Jambi – Konflik tenurial antara masyarakat dengan korporasi baik perusahaan perkebunan maupun hutan tanaman industri semakin meningkat dan menemui jalan buntu. Ironisnya, tak satu pun dari Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten di Jambi yang punya inisiatif untuk membuat regulasi penyelesaian konflik tenurial tersebut.
Demikian kesimpulan dari catatan akhir tahun yang disampaikan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi, Rudiansyah kepada detail, Rabu (27/12/2017) di kantornya.
Dokumen WALHI Jambi, kata Rudiansyah menyebutkan bahwa jumlah konflik sumber daya alam antara pihak masyarakat dengan perusahaan, per tahun 2017 mencapai 61 desa di empat kabupaten. “Boleh dibilang rezim Zumi Zola ini justru lebih parah. Zumi Zola tak punya regulasi apa pun untuk menyelesaikan konflik tenurial,” katanya.
Ia mencontohkan salah satu konflik yang terjadi antara warga Desa Seponjen dengan PT yang berkonflik PT Bukit Bintang Sawit (BBS) – perkebunan kelapa sawit. Akibat hadirnya PT BBS yang merusak tempat-tempat ekosistem sumberdaya alam desa seperti hilangnya tempat mencari jelutung, hilangnya tempat mencari rotan, rumbai, kayu punak dan tanaman kebun lainnya telah merugikan masyarakat sebesar Rp 56 miliar – terhitung sejak PT BBS beroperasi selama 10 tahun terakhir.
Kebijakan pemerintah kabupaten maupun provinsi belum ada sama sekali terkait penanganan konflik sumberdaya alam. Seringkali masyarakat tersandung dengan masalah bukti objek (kepemilikan lahan) dan subjek (kependudukan). “Sementara kita tahu bahwa dua hal ini masih menjadi persoalan di seluruh Indonesia,” ujar Rudiansyah.
Walhi Jambi juga menilai penegakan hukum terhadap perusak lingkungan juga masih lebih banyak terhadap rakyat ketimbang korporasi. Hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Soal bencana alam, Walhi melihat bahwa seluruh dokumen tata ruang lebih mengedepankan pertumbuhan ekonomi dan cenderung mengabaikan aspek lingkungan hidup. Hampir tidak ada lagi wilayah resapan air dan kawasan terbuka hijau.
“Dokumen Amdal masih sebatas prasyarat dokumen untuk memenuhi administrasi saja, bukan menjadikan dokumen amdal sebagai syarat mutlak sebuah pembangunan,” ujarnya.
Terkait dengan perkebunan kelapa sawit, Walhi Jambi menilai bahwa dari 1,2 juta hektar perkebunan kelapa sawit yang ada di Provinsi hanya 30 persen atau sekitar 300.000 hektar yang dikategorikan clean and clear. Sisanya bahkan ada yang hanya mengantongi Izin Usaha Perkebunan (IUP). Bahkan ada pula yang hanya memiliki pabrik kepala sawit tanpa memiliki Hak Guna Usaha (HGU). Namun mereka berlabel perusahaan.
Atas pemaparan di atas, Walhi Jambi merekomendasikan empat hal. Pertama, investasi haruslah dilakukan secara sehat dan tetap mempertimbangkan aspek lingkungan. Kedua, tidak ada lagi toleransi jika terbukti melanggar hukum, izin korporasi harus dicabut dan diproses hukum.
Ketiga, harus ada keseimbangan penegakan hukum terhadap perusak lingkungan baik itu dari kalangan rakyat maupun korporasi. Keempat, diperlukan kebijakan percepatan buat masyarakat agar dapat mengakses hutan lewat skema perhutanan sosial. (DE 01)
LINGKUNGAN
Izin Belum Lengkap, DLH Hentikan Sementara Operasional Stockpile Batu Bara PT GSB
DETAIL.ID, Jambi – Aktivitas stockpile batu bara PT Gelora Sukses Bersama (GSB) di Tenam, Batanghari ditutup sementara oleh Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jambi. Penutupan sementara disebut ikhwal perizinan yang belum lengkap oleh PT GSB.
Menurut Kabid Penaatan DLH Provinsi Jambi, Budi Hermanto, awalnya pihaknya mendapati laporan masyatakat soal keberadaan stockpile yang belum dilengkapi oleh perizinan lingkungan tersebut. Tim PPNS PPLH lantas turun ke stockpile PT GSB dan melakukan penutupan pada Rabu, 17 Desember 2025.
Menurutnya sanksi penutupan sementara sejalan dengan amanat UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah No 21 tahun 2022 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Ada informasi, pengaduanlah. Setelah kita verifikasi ke lapangan ternyata memang ada stockpile. Kita turun ke situ PPNS PPLH, ternyata mereka belum bisa menunjukkan dokumen, intinya dokumen persetujuan lingkungan dan dokumen pengelolaan air limbah,” ujar Budi pada Jumat, 19 Desember 2025.
Budi juga mengkhawatirkan bahwa aktifitas stockpile PT GSB bakal berujung pada pencemaran lingkungan sekitar. Hal tersebut kemudian berujung pada penutupan sementara stockpile PT GSB.
Artinya, kata Budi, perusahaan perlu menyelesaikan dulu segala perizinan lingkungan untuk kemudian bisa kembali beroperasi secara legal.
“Kalau cepat mereka menyelesaiakan perizinannya, ya cepat (operasional diizinkan). Cuman ini akan tetap dilakukan sanksi penindakan administratif,” katanya.
Reporter: Juan Ambarita
LINGKUNGAN
Bocor! Minyak dari Gudang BBM Ilegal PT Kerinci Toba Abadi Cemari Lingkungan Sekitar
DETAIL.ID, Jambi – Gudang BBM ilegal di Kota Jambi lagi-lagi menuai sorotan. Kali BBM meluber dari gudang BBM PT Kerinci Toba Abadi (KTA) yang terletak di kawasan Rt 10, Pal Merah pada Senin, 15 Desember 2025 sekira pukul 00.00 WIB.
Entah bagaimana ceritanya BBM yang bersumber dari gudang ilegal tersebut mengalir ke saluran drainase sekitar, beruntung tidak terjadi kebakaran. Pantauan awak media di lokasi pada Senin siang, 15 Desember 2025, bau solar menyengat di sekitaran gudang.
Tim kepolisian tampak sudah memasangi garis polisi di sekitar gudang. Sementara kondisi gudang tampak sepi, tanpa aktivitas.
Soal insiden di gudang BBM Ilegal PT KTA tersebut, Kasat Reskrim Polresta Jambi Kompol Hendra Manurung dikonfirmasi lewat pesan WhatsApp belum ada respons.
Sementara Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Jambi, Mahruzar mengaku bahwa pihaknya telah mengambil sampel dari BBM yang meluber tersebut.
“Tadi pagi kita bersama pihak Polresta sudah ambil sampel, cuma kalau untuk hasilnya belum keluar,” ujar Mahruzar.
Reporter: Juan Ambarita
LINGKUNGAN
Sarat Masalah Pengelolaan Ekosistem Gambut
DETAIL.ID, Jambi – Sejumlah persoalan dalam kebijakan dan implementasi pengelolaan ekosistem gambut di Provinsi Jambi kembali mengemuka. Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (Warsi) Rudi Syaff, mengungkap eksploitasi besar-besaran terhadap ekosistem gambut berdampak sangat signifikan tergadap perubahan iklim.
Secara sederhana dia menguraikan bahwa kenaikan suhu global berbanding lurus dengan kenaikan permukaan air laut. Gambut di daerah sekitar pesisir pun lebih cepat kering, dan ketika terbakar melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar. Sementara 2023 lalu, Indonesia menyatakan komitmen untuk menahan tingkat emisi diangka 29% secara mandiri.
“Kalau kita mau mempertahankan emisinya. Artinya mempertahankan hutannya dan mempertahankan muka air. Supaya gambut tidak kering dan emisi lepas. Bagaimama mempertahankan gambut, itu yang sangat penting,” kata Rudi Syaf, dalam dialog media Integrated Management of Peatland Lanscape in Indonesia (IMPLI), Kamis 23 Oktober 2025.
50 Persen Gambut Sudah Disulap
KKI Warsi mencatat, terdapat setidaknya 617 ribu hektar Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) di Provinsi Jambi. Namun 50% diantaranya sudah dikonversi menjadi perkebunan sawit maupun Hutan Tanaman Industri (HTI).
Padahal Undang Undang sudah melarang agar lahan gambut dengan kedalaman 3 Meter lebih tidak boleh dikelola untuk perkebunan alias berstatus hutan lindung gambut. Namun dilapangan, kriteria tersebut nyatanya dilabrak oleh pihak-pihak tak bertanggungjwab.
“Karna dia gambut dalam, Undang Undang bilang gambut diatas 3 meter itu (statusnya) lindung. Tapi prakteknya sudah berubah jadi kebun. Ada inkonsistensi kebijakan. Padahal berfungsi sangat penting bagi kehidupan,” ujarnya.
Padahal menurut Direktur KKI Warsi tersebut, lahan gambut Jambi dengan potensi kandungan karbon yang sangat tinggi sejatinya punya nilai ekonomi tinggi bagi Jambi maupun Indonesia jika dimanfaatkan dengan baik sebagaimana skema perdagangan karbon.
Oleh karena itu, ia pun mendorong peran aktif negara hingga penguatan peran masyatakat dalam menjaga dan merestorasi kawasan gambut. Menjaga gambut, kata Rudi, itu menjaga kehidupan, kunci keberhasilan kolaborasi, kebijakan yang berpihak hingga ekonomi lestari.
Penanganan Karhutla Belum Berfokus Pencegahan
Sementara itu Rektor Universitas Jambi Prof. Dr. Helmi yang juga merupakan pakar hukum lingkungan mengungkap persoalan krusial dalam paradigma penanggulangan karhutla yang belum sepenuhnya berfokus pada pencegahan. Prof Helmi, bahkan menilai terdapat politik anggaran yang ‘represif’ dalam hal karhutla.
“Ketika suatu kawasan ditetapkan masuk bencana, baru anggaran penanggulangan dicairkan. Karna (menggunakan) paradigma api dan asap, maka anggaran juga bukan angaran (untuk) mencegah atau mengatasi penyebab,” ujar Helmi.
Rektor Universitas Jambi tersebut berpandangan bahwa setidaknya terdapat beberapa penyebab yang sangat mendasar, mulai dari tata kelola lahan hingga sistem perizinan. Dia kembali mengungkit soal ketentuan perundang-undangan yang mengklasifikasikan gambut dengan kedalaman 3 meter lebih tidak boleh diusahakan lantaran masuk kawasan lindung. Namun pada prakteknya rawan pelanggaran dan minim penertiban.
“Trus apa yang harus dilakukan? Bagaimana kemudian memantau ini secara berkepanjangan? Cabut izinnya jika terjadi karhutla,” katanya.
Berdasarkan ketentuan perundangan yang berlaku, karhutla yang terjadi dalam areal konsesi atau HTI suatu badan usaha, sangsinya jelas yakni berupa pencabutan izin usaha atau administratif.
Namun pada prakteknya, kasus-kasus karhutla masih bergulir panjang pada proses pembuktian di persidangan. Padahal UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah menegaskan soal Strict Liability (Tanggungjawab Mutlak).
Dimana pada prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability), perusahaan atau pihak pemegang izin usaha dapat dimintai tanggung jawab hukum atas terjadinya kebakaran di arealnya, tanpa perlu dibuktikan adanya unsur kesalahan atau kelalaian.
“Jadi tidak pas menurut saya, tanggungjawab mutlak itu jelas sangsinya administratif, langsung saja dicabut izinnya,” katanya.
Ditengah tantangan pemulihan, konsistensi kebijakan, tekanan konversi, dan minimnya insentif. Restorasi gambut lewat pengelolaan berkelanjutan FOLU Net Sink atau pemanfaatan hutan dan lahan dengan netral dinilai menjadi kunci. Hal itu demi menjaga kelestarian ekosistem gambut, hingga menekan laju naiknya suhu dan muka air laut.
Reporter: Juan Ambarita

