TULISAN ini berawal dari kegelisahan perkembangan era digitalisasi yang sekarang berkembang menuju era di mana sebuah kebenaran yang hakiki menjadi sulit untuk didapatkan akibat pengaruh media sosial sebagai ranah distribusi post-truth. Istilah post-truth hampir tidak dikenal sekitar 5 tahun yang lalu, tetapi mulai berkembang ke panggung media baru-baru ini.
Menurut Keyes (2004) istilah post-truth sebenarnya sudah muncul sejak tahun 2004 sebagai pengaburan antara berbohong dan pengungkapan kebenaran. Kecenderungan tren masyarakat ke ranah media sosial telah berkontribusi pada gencarnya dunia post-truth selama beberapa tahun terakhir. Hampir seluruh masyarakat di Indonesia mengakses Internet hanya untuk membuka media sosial, baik itu facebook, twitter, instagram dan sebagainya. Kekuatan media sangat berpengaruh pada era post-truth kali ini.
Fenomena post-truth sendiri menyeruak secara masif ke publik disebabkan situasi sosial-politik pada tahun 2016 saat maraknya isu “Brexit” di Eropa dan bertepatan dengan pemilihan Presiden Amerika. Saat itu kubu yang berseteru, terutama Donald Trump, ramai mempublikasikan informasi tanpa disertai standar bukti-bukti yang mendukung kebenaran informasi tersebut. Fenomena post-truth ini tidak hanya berpengaruh pada dunia politik saja. Media sosial yang hampir dimiliki seluruh masyarakat modern membuat fenomena ini menyebar bak wabah penyakit ke berbagai aspek kehidupan sosial.
Fenomena post-truth yang terjadi di Indonesia bisa kita rasakan pada pertarungan politik Jakarta ketika Ahok dituduh sebagai penista agama. Pada saat bersamaan, meme, teori konspirasi, guyonan dan berita palsu menjadi hal yang krusial dalam kampanye yang semuanya beredar melalui berbagai platform media sosial, termasuk banyak materi anti-Tionghoa.
Ahok kalah dalam pemilu, dan segera sesudahnya dinyatakan bersalah telah melakukan penistaan agama (Tapsell, 2018). Kasus di atas merupakan contoh bahwa masyarakat saat ini telah memasuki era pasca kebenaran. Media sosial mempunyai andil besar kekalahan Ahok. Opini publik yang terbentuk melalui media sosial lebih kuat daripada fakta yang ada, masyarakat lebih percaya pada informasi yang tersebar melalui broadcast dalam WhatsApp Group keluarga.
Era post-truth merupakan fenomena yang sedang marak-maraknya terjadi saat ini, ditandai dengan meningkatnya peredaran berita palsu di masyarakat. Berita palsu yang mengedepankan judul sensasional untuk menarik perhatian para pembaca. Menyoal di Indonesia, tranformasi media tradisional menuju digital menduduki posisi vital masyarakat.
Seluruh elemen kehidupan sosial telah beresonansi dengan lingkungan media baru, bahkan media sosial bertindak dominan. Berita palsu atau hoaks merupakan buah yang dihasilkan sekaligus dampak negatif dari era post-truth.
Hoaks tidak lagi dipandang sebagai masalah yang sederhana, karena jika penyebarannya dibiarkan terus menerus akan menyebabkan goyahnya kehidupan bangsa. Masyarakat pengguna media sosial perlu lebih cermat dalam menerima dan menyebarluaskan informasi melalui media sosial. Informasi memuat ujaran kebencian yang menyebar dengan cepat dapat mengancam persatuan bangsa.
Masyarakat telah berubah menjadi jurnalis warga yang memproduksi informasi dan menyebarkannya dengan cepat. Kemajuan teknologi media khususnya media sosial ibarat dua mata pisau. Di satu sisi, ia memberikan kemudahan bagi penggunanya untuk mengakses informasi. Di sisi lain, banyak pihak yang memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk menyebarkan ujaran kebencian dan sebagainya.
Ruang lingkup politik menjadi yang paling sering menjadi sasaran fenomena post-truth, salah satu contohnya di Indonesia pada saat sebelum hingga sesudah pemilihan umum tahun 2019. Perang menggiring opini yang dilakukan oleh buzzer-buzzer membuat persaingan antara antek-antek militan cebong dan kampret menjadi sangat panas. Kemudian isu-isu kecurangan pemilu melalui quick count juga bertebaran.
Masyarakat yang pro dengan pihak yang mengklaim dan merasa dicurangi ikut tersulut dengan satu isu yang tersebar dan diakses melalui media sosial yang belum tentu kebenarannya kemudian tanpa melihat substansinya langsung ikut membenarkan dan isu tersebut jangkauannya semakin luas karena diproduksi dan disebarkan secara berulang-ulang demi membangun kondisi emosional masyarakat, sehingga lama kelamaan dianggap sebagai sebuah kebenaran oleh orang banyak terutama kelompok pro yang awalnya tidak percaya. Begitu pula sebaliknya, masyarakat yang berada di pihak kontra juga sama.
Pada era post-truth media sosial menjadi alat yang menanamkan konsep kebenaran yang membingkai kepentingan menjadi sebuah fakta. Kebenaran di era post-truth menjadi semakin semu yang menjerumuskan kepada kebohongan, kepalsuan, dan mis informasi masyarakat. Dilansir dari situs resmi Kementerian Komunikasi Dan Informatika (Kominfo) mencatat jumlah pengguna internet di Indonesia tahun 2019 telah mencapai 171,17 juta, dan merujuk kepada data We Are Social mencatat 150 juta (56%) masyarakat Indonesia yang mengakses sosial media.
Menurut Kominfo, pada tahun 2016 ada hampir 800 ribu akun, baik di media sosial maupun media online, yang telah diblokir oleh pemerintah karena menampilkan kabar bohong maupun ujaran kebencian.
Melihat begitu kuatnya pengaruh media yang sangat berdampak negatif, penulis merasa perlu adanya alat sejenis yang bertujuan sebagai wadah pendidikan kepada para pengguna media sosial yang sifatnya meng-counter informasi-informasi yang kontroversial seperti hoaks dan sebagainya yang merupakan buah dari post-truth.
Penulis berinisiasi membuat sebuah terobosan dengan membuat akun di beberapa media sosial yang bertujuan untuk literasi informasi di era pasca kebenaran yang penulis beri nama “Sosmed Education Center”. Mengingat banyaknya pengguna sosial media di Indonesia dengan diiringi pula dengan pengaruh negatif dari media sosial tersebut, perlu adanya inovasi yang solutif untuk mengurangi permasalahan tersebut.
Penyebaran informasi dapat berlangsung secara cepat dengan media sosial, siapa pun dapat menyebarkan informasi baru kapan saja, sehingga orang lain juga dapat memperoleh informasi yang tersebar di media sosial kapan saja.
Saat ini teknik pencarian informasi memiliki berbagai cara dengan sistem-sistem pendukung yang beragam, salah satunya kita mengenal istilah literasi informasi. Literasi informasi bisa diartikan pula sebagai bentuk kajian ilmu informasi dan perpustakaan yang memiliki fokus kepada kemampuan individu atau kelompok untuk mencari atau memperoleh, mengevaluasi dan menggunakan informasi tersebut untuk kebutuhan atau pemecahan masalah baik dalam skala kecil (pribadi) atau skala besar (masyarakat).
Menurut American Library Association (ALA), untuk menjadi orang yang melek informasi, seseorang harus mampu mengetahui kapan informasi itu dibutuhkan dan memiliki kemampuan untuk menemukan, mengevaluasi, dan menggunakan informasi yang dibutuhkan secara efektif (Wooliscroft, 1997). Literasi informasi media berbasis digital dirasa perlu sebagai media edukasi atau pembelajaran bagi masyarakat yang menjadi subjek fenomena era post-truth ini.
Melihat fenomena tersebut penulis melakukan sebuah gagasan literasi informasi media berbasis sosmed education center, yang mana dapat dimanfaatkan sebagai bagian dari edukasi media agar masyarakat dapat mengetahui ataupun menyaring informasi sebelum menerima secara mentah-mentah yang mana dapat menimbulkan berita hoaks dan menggiring opini palsu. Sosmed education center ini nantinya akan memberikan edukasi melalui media sosial instagram dan twitter lewat konten-konten yang akan disajikan nantinya.
Sosmed education center merupakan inovasi berupa akun di sosial media yang sifatnya sebagai pusat media pembelajaran atau media literasi informasi tentang hal-hal positif sekaligus bertujuan untuk meng-counter dan membendung pengaruh negatif dari sosial media salah satu contohnya ialah hoaks yang hadir sebagai buah dari fenomena post-truth.
Sosmed education center menjadi garda terdepan dalam penyampai pesan, informasi mengenai pentingnya literasi dalam menghadapi fenomena post-truth ini dengan membantu masyarakat pengguna media sosial untuk mampu memahami, menganalisis, dan mendekontruksi apa yang disajikan oleh media.
Sosmed education center untuk saat ini baru berupa tiga akun media sosial yaitu facebook, instagram dan twitter. Inovasi ini penulis jadikan sebagai sebuah solusi yang diharapkan dapat terciptanya budaya bijak dalam menggunakan sosial media, mendorong masyarakat untuk berpikir kritis dengan dapat membedakan antara informasi nyata dan bohong, konten baik dan berbahaya.
Sosmed education center akan memberikan aspek edukasi kepada masyarakat agar tahu bagaimana mengakses serta memilih informasi yang akurat dan bermanfaat dan diharapkan masyarakat juga menjadi kritis, peka terhadap informasi yang sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan referensi yang ada.
*)Founder Sosial Media Education Center
Discussion about this post