PERISTIWA
Kolaborasi Jurnalis di Yogya: Strategi Membongkar Kisruh Data Penanganan COVID-19

Delapan jurnalis di Yogyakarta berkolaborasi. Tanpa funding. Bekerja sama dan berbagi tugas menguak carut-marut data kematian dan penanganan Covid-19 di DIY secara mendalam.
Pito Agustin Rudiana
Kamis, 15 Maret silam, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pecah telur. Pasien anak yang positif mengidap Covid-19 diumumkan Sultan Hamengku Buwono X, Gubernur DIY sekaligus Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, sebagai kasus pertama di provinsi tersebut. Pengumuman tersebut tepat dua hari setelah hasil tes swab atau diagnosa virus dari laboratorium menunjukkan bahwa bocah tiga tahun tersebut positif terinfeksi.
Sejak kasus pertama diumumkan, jumlah pasien di DIY terus bertambah. Dalam waktu sepuluh hari, angkanya naik drastis hingga lima kali lipat. Meskipun relatif sedikit, namun bila dibandingkan dengan periode pertama, lonjakannya sangat besar.
Berangkat dari data itulah, jurnalis Kompas yang bertugas di Yogyakarta Haris Firdaus pun lantas berinisiatif memantau dan mencatat setiap perkembangan kasus Covid-19 di provinsi tersebut. Dalam liputannya, dia menyoroti tentang jumlah kasus yang meningkat drastis, tes atau pemeriksaan laboratorium yang masih sangat minim, dan pembatasan sosial yang tidak berjalan baik.
“Dari situ, saya melihat ada problem serius. Kenapa Pemerintah Provinsi DIY tak menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB)? Mengapa penanganannya terkesan lamban?” kata Haris.
Persoalan penanganan Covid-19 yang dinilai setengah hati itupun rupanya juga menjadi kegelisahan sejumlah jurnalis lain. Bersama tiga jurnalis dari VOA Indonesia, Harian Jogja dan Gatra, merekapun menyatakan berkolaborasi. Disusul oleh empat jurnalis lainnya dari IDN Times, Pandangan Jogja, CNN TV dan Tirto.

Dok: Nuusdo.com
Berikut bincang-bincang Nuusdo dengan Haris Firdaus yang juga koordinator Kolaborasi Jurnalis yang meliput pandemi di DIY.
[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical” include_category=”3″]
Apa yang melatarbelakangi kolaborasi liputan pandemi di Yogyakarta? Mengapa perlu?
Awalnya kami melihat penanganan Covid-19 di DIY yang cenderung lambat. Berbeda dibandingkan dengan Kota Tegal misalnya, yang kasusnya sedikit tetapi sudah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Pun di beberapa daerah lain.
Dari diskusi WhatsApp dengan tiga jurnalis dari Gatra (Arif Koes), VOA Indonesia (Nurhadi Sucahyo), dan Harian Jogja (Bhekti Suryani), kami pun sepakat bekerja sama melakukan liputan kolaborasi karena tak banyak media yang mengulas masalah ini secara mendalam. Kami turun ke lapangan, mewawancarai narasumber via aplikasi video conference dan mengumpulkan data publik. Saat itu bertepatan sebulan penanganan Covid-19 di DIY. Hasil liputan terbit serentak di media masing-masing pada 16 April.
Ada tiga isu penting yang disorot, yakni jumlah kasus penderita Covid-19 yang meningkat drastis, pemeriksaan laboratorium yang sangat sedikit dan pembatasan sosial tidak jalan. Dua jurnalis lain menambahkan dengan menggali kemungkinan DIY menerapkan PSBB, meski pemerintah daerah kemudian menilai belum memenuhi syarat PSBB.
Pada kolaborasi kedua, jumlah jurnalis yang bergabung bertambah dengan masuknya CNN TV, Tirto.id, IDN Times dan Pandanganjogja.com. Liputan kali ini menyoroti carut-marut pendataan kasus kematian yang dicurigai Covid-19. Hasilnya dipublikasi serentak pada 30 April.
Semakin banyak media yang menulis persoalan tersebut dalam waktu bersamaan, akan semakin menjadi perhatian bagi pemerintah. Selain membuat suara media lebih nyaring, liputan kolaborasi juga memudahkan para jurnalis dalam reportase dan pengumpulan data.
Apa temuan penting tim kolaborasi ini di lapangan?
Dalam liputan kolaborasi kedua, kami menemukan fenomena kematian yang tak tercatat di DIY. Fenomena ini ditandai dengan adanya sejumlah korban meninggal yang berstatus pasien dalam pengawasan (PDP), tetapi data mereka tak tercatat dalam data Pemerintah Provinsi DIY.
“Semakin banyak media yang menulis persoalan tersebut dalam waktu bersamaan, akan semakin menjadi perhatian bagi pemerintah.”
[jnews_element_newsticker newsticker_title=”baca juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical” include_category=”10″]
Kondisi tersebut berpotensi membuat data korban meninggal selama pandemi Covid-19 di DIY menjadi tidak akurat. Padahal, para ahli epidemiologi telah menyatakan, data kematian menjadi salah satu indikator penting untuk menggambarkan seberapa besar dampak pandemi di suatu wilayah.
Jika data kematian yang ada tak akurat, bisa jadi dampak pandemi yang terjadi tak bisa dipahami sepenuhnya. Apabila dampak pandemi yang terjadi tak bisa dipahami dengan baik, kebijakan yang diambil pun bisa tak tepat sasaran.
Dalam liputan kolaborasi ketiga, kami menemukan ada sejumlah PDP meninggal di DIY yang dinyatakan negatif Covid-19 dengan prosedur yang dipertanyakan. Sesuai pedoman Kementerian Kesehatan (Kemenkes), seorang PDP hanya bisa dinyatakan negatif Covid-19 jika sudah menjalani minimal dua kali tes swab dan seluruh hasil pemeriksaannya negatif. Namun, kami menemukan ada PDP meninggal yang dinyatakan negatif Covid-19 padahal belum menjalani tes sama sekali. Selain itu, kami juga menemukan beberapa PDP meninggal yang baru menjalani tes swab sekali dan dinyatakan negatif Covid-19.
Kebijakan “menegatifkan” PDP meninggal yang belum menjalani minimal dua kali tes swab itu bisa menimbulkan beberapa konsekuensi. Selain berpotensi menyebabkan data kematian menjadi tak akurat, fenomena “penegatifan” itu dikhawatirkan bisa berdampak pada penanggulangan Covid-19 di DIY. Sebab, hal itu bisa melemahkan tracing atau penelusuran kontak sehingga upaya memutus rantai penularan Covid-19 bisa menjadi lebih sulit.
[jnews_element_newsticker newsticker_title=”baca juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical” post_offset=”1″ include_category=”3″]
Bisa dijelaskan, bagaimana teknis liputan kolaborasi yang tim Anda lakukan?
Yang dimaksud di sini adalah kolaborasi dalam menentukan tema, peliputan ke lapangan dan bekerja sama saat pengumpulan data. Sedangkan angle yang diangkat tetap diserahkan pada masing-masing jurnalis.
Pada kolaborasi pertama masih seperti liputan biasa. Tak ada pembagian tugas. Data awal yang kami kumpulkan juga baru sebatas data publik yang bisa diakses siapapun.
Baru pada kolaborasi ke-2 dan ke-3, mulai ada pembagian tugas. Ada yang membuka jejaring, menghubungi narasumber, atau menggali data-data yang tak bisa diperoleh ketika liputan sendiri. Kami juga mendiskusikan temuan lapangan secara matang.
Dengan berkolaborasi, liputan mendalam (indepth) yang berat apabila dilakukan seorang diri, menjadi lebih mudah. Hasilnya juga lebih berkualitas. Masing-masing jurnalis memiliki kelebihan sekaligus keterbatasan sehingga dapat saling melengkapi. Selain itu, karena ada kawan berdiskusi, jurnalis menjadi lebih bersemangat.
Sejauh ini, apa kendala ketika menggarap liputan kolaboratif?
Kesulitan utama dalam liputan kolaborasi ini adalah mendapatkan data-data yang membuktikan adanya persoalan dalam penanggulangan pandemi Covid-19. Selama ini, memang banyak data yang tidak dipublikasikan secara terbuka sehingga kami sebagai jurnalis harus melakukan “gerilya” ke sana ke mari untuk mendapatkan data yang akurat.
Setelah mendapat data yang dibutuhkan, kami juga harus melakukan verifikasi berlapis-lapis agar hasil liputan kami benar-benar akurat. Proses liputan dan verifikasi data ini terkadang membutuhkan waktu lama dan proses yang rumit. Namun, dengan kerja sama di antara partisipan kolaborasi, beragam kendala itu bisa menjadi lebih mudah diatasi.
Meski begitu, makin banyak jurnalis yang terlibat, makin besar pula perbedaan pandangan, misalnya dalam menentukan fokus liputan. Karena itu, kami rutin berdiskusi via online untuk meminimalisasi ‘beda arah’ dan kesalahpahaman.
[jnews_element_newsticker newsticker_title=”baca juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical” include_category=”2″]
Isu penanganan Covid-19 terus berubah, bagaimana menyiasati kondisi tersebut saat kolaborasi?
Liputan kolaborasi biasanya dilakukan secara mendalam (indepth) dan butuh waktu cukup lama, sehingga tidak bisa mengejar aktualitas. Misalnya, soal pembagian bantuan sosial (bansos) bisa jadi tak lagi relevan karena ketika proses liputan berakhir, ternyata bansosnya sudah selesai dibagi. Berbeda apabila liputan kolaborasi berangkat dari data dan problem sosial yang muncul.
Soal kurva epidemik, misalnya. Ketiadaan kurva yang memenuhi standar epidemologi sebenarnya adalah problem lama yang pernah diungkapkan oleh The Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU). Namun, masalah itu akan tetap relevan karena tanpa data memadai, akan sulit (bagi pemerintah) menyimpulkan suatu kasus dan memutuskan kebijakan yang tepat. Begitu pula, isu penerapan ‘new normal‘ dalam kehidupan sehari-hari akan tetap menarik karena persoalan hulunya sendiri belum selesai.
Fungsi kolaborasi juga mengeksplorasi masalah-masalah publik yang belum selesai tapi sudah terlupakan. Contohnya ketika Narasi TV mengangkat tentang pasien yang meninggal dunia di Garut. Sebelumnya yang bersangkutan dinyatakan negatif, tapi ternyata positif Covid-19. Publikasinya sebulan kemudian ketika semua orang sudah melupakan. Tidak aktual. Tapi karena datanya kuat, ya tetap menarik perhatian.
“Fungsi kolaborasi juga mengeksplorasi masalah-masalah publik yang belum selesai tapi sudah terlupakan.”
Sebenarnya, problem penanganan Covid-19 di Indonesia ini sangat banyak. Masalah satu belum selesai, sudah muncul masalah baru lagi. Jurnalis umumnya cenderung memberitakan hal yang baru, namun melupakan problem sebelumnya. Apabila tidak diingatkan, masalah-masalah yang belum terselesaikan tersebut akan memengaruhi penanganan Covid-19 secara keseluruhan.
[jnews_element_newsticker newsticker_title=”baca juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical” include_category=”659″]
Apakah kolaborasi liputan ini sudah berdampak (bagi pemerintah dan publik)?
Saya menerima banyak respons pasca liputan pertama, baik dari pemerintahan, publik maupun kalangan jurnalis sendiri.
Apakah liputan kami sudah berdampak atau belum, sulit mengukurnya. Misalnya, kolaborasi tahap dua tentang data kematian. Banyak pasien dalam pengawasan (PDP) yang meninggal tapi tidak tercatat. Setelah laporan muncul di media, kami mengamati pencatatan data kematian menjadi lebih rapi. Bahkan, turut pula mencantumkan apakah PDP yang meninggal sudah disertai keterangan hasil tes swab atau belum.
Di sisi lain, perhatian publik pada persoalan pandemi juga terasa meningkat dibandingkan sebelumnya. Misalnya, lebih banyak jurnalis yang tertarik untuk meliput isu tersebut, atau bergabung dalam kolaborasi selanjutnya.
Bagaimana model pembiayaan liputan kolaborasi ini?
Pembiayaan ini dilakukan secara mandiri, tidak mengandalkan dana dari pihak manapun. Ada upaya penggalangan dana, tetapi belum terealisasi karena pertimbangan beban tenggat waktu yang ketat dan persoalan administrasi. Sehingga sejak awal, kolaborasi ini memang tidak dikaitkan dengan pendanaan. Kami melakukan bukan karena ada ‘project‘, tetapi karena memang ada kebutuhan yang riil di lapangan.
Yang perlu dicatat, kolaborasi ini adalah murni inisiasi dari para jurnalis sendiri, bukan dari lembaga media tempat masing-masing bekerja. Meski, redaksi tetap mengetahui karena tetap harus ada laporan yang masuk. Jadi, bisa dikatakan, kolaborasi ini sifatnya sukarela dan independen dari pihak lain.
Sumber : http://nuusdo.com/kolaborasi-jurnalis-di-yogya-strategi-membongkar-kisruh-penanganan-covid19
PERISTIWA
3 Kendaran Terlibat Kecelakaan Beruntun di Batipuh Selatan Tanah Datar, Diduga Rem Blong

DETAIL.ID, Tanah Datar – Sebanyak 3 kendaraan terlibat kecelakaan beruntun di Jalan Raya Padang Panjang-Solok, di Jorong Galanggang, Nagari Batu Taba, Kecamatan Batipuh Selatan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
Kecelakaan terjadi pada Rabu, 20 Agustus 2025 sekira pukul 17:30 WIB.
Kecelakaan melibatkan 2 truk dan 1 mikro bus, salah satu truk membawa muatan telur, sehingga saat kecelakaan terjadi, telur berserakan di badan jalan.
KBO satlantas Polres Padang Panjang, IPDA Dedi Kuswanto menjelaskan kronologi kejadian.
Kata IPDA Dedi, awal mula kejadian berawal dari kendaraan truk dengan nomor polisi BA 9039 BU yang dikendarai oleh Syafryddin datang dari arah Padang Panjang menuju Solok.
“Sesampainya di tempat kejadian, rem kendaraannya tidak berfungsi dan menabrak mikro bus Hiace dengan nopol BH 7512 FI,” ujarnya.
Ia menjelaskan, kendaraan mikro bus tersebut dikendarai oleh Hendri Wilyan.
“Setelah truk menabrak mikro bus, kemudian mikro bus menabrak truk nopol BG 8780 yang berada di depannya,” katanya.
“Truk dengan nopol BG 8780 tersebut dikendarai oleh Suardinata yang juga membawa seorang penumpang atas nama Suparman,” katanya.
Kemudian, IPDA Dedi menambahkan, akibat rem blon dan menabrak mikro bus, truk dengan nopol BA 9039 BU membanting stir ke arah sisi kanan jalan.
“Jika dilihat, posisinya dari arah Padang Panjang menuju solok,” tuturnya.
“Akibat kejadian tersebut, kendaraan yang terlibat kecelakaan mengalami kerusakan,” katanya.
Sementara itu, IPDA Dedi mengatakan tidak ada korban jiwa akibat kecelakaan tersebut.
Reporter: Diona
PERISTIWA
Risetcar Terbukti Penipuan, Ratusan Ribu Anggota Alami Kerugian Puluhan Miliar Rupiah

DETAIL.ID – Aplikasi investasi Risetcar dipastikan sebagai penipuan (scam) setelah dalam sepekan terakhir menutup fitur penarikan dana dari para penggunanya.
Seluruh permintaan pencairan saldo anggota gagal diproses, memicu kepanikan dan menimbulkan kerugian besar di kalangan pengguna.
Risetcar sebelumnya mengklaim sebagai platform investasi kendaraan tanpa sopir berbasis di Amerika Serikat dengan cabang di Jakarta. Skema ini sukses menarik ratusan ribu anggota berkat promosi masif, terutama di wilayah pelosok Indonesia.
Menurut laporan, jumlah anggota Risetcar mencapai sekitar 200.000 orang dengan estimasi kerugian puluhan miliar rupiah. Beberapa sumber bahkan menyebut jumlah akun yang terdaftar bisa menembus lebih dari 600.000 pengguna.
Awalnya Menjanjikan, Berakhir Menghilang
Salah satu korban yang enggan disebutkan namanya mengaku tertarik bergabung setelah diajak teman dekat.
“Awalnya lancar, pembagian keuntungan sesuai jadwal, dan tampilannya profesional. Ada narasi teknologi canggih, jadi terlihat masuk akal,” ujarnya pada Jumat, 15 Agustus 2025.
Namun, keuntungan mulai macet dan komunikasi pihak Risetcar kian tidak jelas. Puncaknya, anggota menerima pesan WhatsApp bernada ancaman: “Harap selesaikan penyewaan kendaraan Anda di Jakarta dalam 6 jam ke depan, atau Anda akan kehilangan keanggotaan Risetcar Anda.”
Pesan itu dikirim dari nomor berkode negara Hong Kong (+852), disertai klaim sedang bernegosiasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Perhubungan. Dalam pesan tersebut, anggota diminta melakukan “penyewaan kendaraan uji coba” sebagai bukti operasional.
Faktanya, imbauan itu hanyalah taktik untuk menekan anggota agar kembali menyetor dana, padahal saldo dan aset di aplikasi sudah tidak bisa dicairkan.
Legalitas Dipertanyakan
Hasil penelusuran redaksi tidak menemukan nama Risetcar atau entitas terkait terdaftar di OJK maupun lembaga resmi lainnya. Tidak ada transparansi dokumen legal, izin usaha, atau pengawasan yang sah, sehingga memperkuat dugaan bahwa Risetcar merupakan skema investasi ilegal berkedok teknologi.
Langkah yang Harus Dilakukan Korban
- Laporkan kasus ke Satgas Waspada Investasi OJK.
- Laporkan nomor rekening tujuan transfer di cekrekening.id.
- Buat laporan ke Patrolisiber Polri melalui patrolisiber.id.
- Simpan semua bukti komunikasi, termasuk pesan dari nomor luar negeri.
Imbauan untuk Masyarakat
Modus penipuan semacam ini biasanya diawali dari ajakan teman, iming-iming keuntungan cepat, sistem bonus referral, hingga tekanan psikologis agar terus “berpartisipasi”.
Sebelum berinvestasi, pastikan:
- Cek legalitas di ojk.go.id.
- Periksa nomor rekening di cekrekening.id.
- Jangan transfer dana tanpa kejelasan hukum dan kontrak resmi. (*)
PERISTIWA
Aplikasi RisetCar Diduga Investasi Bodong, Pengguna Keluhkan Gagal Tarik Dana

DETAIL.ID, Palu – Aplikasi RisetCar kembali menjadi sorotan publik setelah sejumlah warganet mengeluhkan kesulitan menarik dana. Berdasarkan penelusuran pada Rabu, 13 Agustus 2025, keluhan tersebut ramai dibagikan di berbagai platform media sosial.
“Bisa ditariknya kapan? Kendaraan baru saja habis kontraknya, tapi tombol transfernya masih transparan dan tidak bisa dipencet,” tulis Josh di salah satu grup Facebook.
Pengguna lain mengaku penarikannya terus-menerus ditolak. “Update terbaru, narik dari tanggal 8 sampai sekarang statusnya ditolak dua kali. Ini sudah bahaya, guys,” ujarnya.
RisetCar sebelumnya menjanjikan keuntungan dari mobil tanpa sopir yang diklaim mampu beroperasi dan menghasilkan uang secara otomatis. Namun, penelusuran lebih lanjut menunjukkan bahwa kendaraan yang dimaksud tidak pernah ada.
“Mobilnya mana? Adanya cuma aplikasinya,” kata Roy Shakti, YouTuber yang kerap mengedukasi masyarakat soal literasi digital dan keuangan.
Menariknya, berbeda dengan kebanyakan platform investasi ilegal, RisetCar tersedia di Google Play Store. Namun, kehadiran di toko aplikasi resmi tidak otomatis menjamin legalitasnya.
Roy menduga, RisetCar menerapkan skema ponzi klasik. “Ini aplikasi ponzi. Prediksi saya, ini dari Kamboja lagi. Cuma ganti casing saja,” ujarnya. Ia menjelaskan, modus yang digunakan mirip dengan investasi ilegal sebelumnya, yakni mewajibkan pengguna melakukan top up serta merekrut anggota baru.
Platform ini menawarkan 10 level keanggotaan, mulai dari LV1 hingga SSVIP3, dengan top up antara Rp 50 ribu hingga Rp 150 juta. Semakin besar nominal top up, semakin besar komisi yang dijanjikan.
Kepala OJK Sulawesi Tengah, Bonny Hardi Putra, mengingatkan pentingnya prinsip 2L sebelum berinvestasi: Logis dan Legal. “Kalau mau investasi, perhatikan dua hal: logis nggak? legal nggak?” katanya.
Ia memastikan bahwa RisetCar tidak terdaftar sebagai Penyelenggara Usaha Jasa Keuangan (PUJK) di OJK. “RisetCar tidak terdaftar,” kata Bonny belum lama ini.
OJK juga menegaskan bahwa semua usaha yang menghimpun dana masyarakat, baik konvensional maupun syariah, wajib memiliki izin resmi. Fenomena serupa sebelumnya pernah terjadi pada kasus OMC Group, yang mayoritas korbannya adalah ibu rumah tangga tergiur janji keuntungan instan. (*)