Connect with us
Advertisement

OPINI

Hardiknas dan “Kesaktian” Guru

DETAIL.ID

Published

on

Hardiknas dan Kesaktian Guru

TAHUN 2021, Hardiknas masih diperingati di tengah situasi pandemi Covid-19 seperti tahun lalu. Kemendikbud melalui Surat Edaran Mendikbud Nomor: 27664/MPK.A/TU.02.03/2021 menyampaikan sejumlah imbauan.

Intinya, imbauan agar semua pihak menyelenggarakan aktivitas/kegiatan memperingati dan memeriahkan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2021 secara kreatif, menjaga dan membangkitkan semangat belajar pada masa darurat Covid-19, serta mendorong pelibatan dan partisipasi publik, dengan tetap mematuhi protokol kesehatan dalam upaya pencegahan penyebaran Covid-19.

Diyakini, Hari Pendidikan Nasional tidak semata-mata dimaksudkan untuk mengenang hari kelahiran Ki Hadjar Dewantara selaku Bapak Perintis Pendidikan Nasional, namun lebih merupakan sebuah momentum untuk kembali menumbuhkan rasa patriotisme dan nasionalisme bagi seluruh insan pendidikan. Tema peringatan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2021 adalah “Serentak Bergerak, Wujudkan Merdeka Belajar”. (Kompas)

Harus diakui bahwa guru sebagai entitas terdepan mewujudkan “Serentak Bergerak, Wujudkan Merdeka Belajar”. Ini tentu bukan pekerjaan mudah. Perlu kolaborasi dengan berbagai pihak apalagi dalam kondisi pandemi.

Bagi guru, ada satu opini yang membuat beban guru menjadi lebih berat. Masih ada pihak yang menganggap guru sebagai ‘manusia unggul’, manusia yang berbeda dengan manusia lain. Boleh dikata, manusia sakti.

Manusia sakti ini kelihatan dalam beberapa kondisi, misal pandemi Covid-19. Para stakeholder pendidikan seolah olah sudah sepakat membedakan perlakuan antara guru dan siswa. Di saat pandemi belum berakhir, bahkan di beberapa daerah berada di zona merah, muncul Surat Edaran: siswa belajar dari rumah (BDR) sedang guru ‘wajib’ mengisi presensi di sekolah/madrasah.

Kebijakan ini menasbihkan bahwa guru adalah orang yang tahan penyakit, kebal dengan virus corona, dalam kondisi apa pun harus ‘selfie’ untuk presensi di sekolah/madrasah. Padahal, pemerintah sudah dengan terang benderang menyatakan bahwa pembelajaran selama pandemi mengutamakan keselamatan dan kesehatan warga sekolah/madrasah.

Padahal, banyak yang berpendapat bahwa untuk memutus mata rantai Covid-19, tindakan 5 M itu harus serentak dan bersama sama dilaksanakan apa pun profesinya. Tidak bijak berpendapat, guru ‘wajib’  ke sekolah/madrasah, karena jam kerja guru sudah ditentukan. Pemahaman yang rigid tentang aturan ini bisa jadi menjadi kluster baru penyebaran Covid-19.

Pada kondisi pandemi, guru bisa bekerja dari rumah, mengajar dari rumah, mengerjakan aktivitas pasca proses pembelajaran dari rumah tanpa mengurangi kualitas hasil. Kalau semua siswa ‘dirumahkan’, sedangkan guru ‘diharuskan berkerumun dan bepergian’, maka percuma, siswa dirumahkan, dikhawatirkan, siswa yang sudah ‘aman’, akan bertemu dengan guru yang ‘berkerumun dan bepergian’.

Dipastikan, setiap kesuksesan diawali dan diakhiri dengan pendidikan. Kesuksesan tanpa proses pendidikan adalah khayalan. Pendidikan merupakan soft power, kekuatan sejati yang tidak kasat mata tetapi semua orang memerlukan dan merasakan kekuatannya. Pendidikan memberikan pengaruh yang amat besar dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, walaupun banyak yang mengganggu, tapi guru tetap sabar:

Pertama, memperbanyak workshop, seminar, diklat yang berisi ceramah tentang kurikulum, perencanaan pembelajaran, dan lain-lain. Pokoknya acara itu terlaksana agar kelihatan bekerja, dana segera cair dan guru dapat sertifikat.

[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical”]

Yang dibicarakan cenderung ‘apa itu’: Apa itu kurikulum? Apa itu RPP? Apa itu mengajar? Dan lain-lain. Padahal yang penting bagi guru ‘bagaimana itu”: Bagaimana mengajar? Bagaimana menilai? Dan lain-lain yang sesuai dengan konteks sekolah.

Kedua, persempit ‘area’ tugas guru. Dalam peraturan apa pun yang dikeluarkan pemerintah dicantumkan tugas guru itu adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. (UU RI Nomor 14 Tahun 2005). Tapi yang “dihargai” pemerintah melalui Tunjangan Fungsional Guru (TFG) adalah  jam tatap muka (mengajar) 24 jam per minggu. Tatap muka dalam kelas saja yang diapresiasi. Bagaimana dengan kegiatan lain yang terjadi ‘di luar tatap muka? Padahal banyak unsur edukatif terjadi di luar ‘tatap muka’ untuk membelajarkan siswa. Wajar bila Proses Pembelajaran (selanjutnya disingkat PP) ‘kering’ dari nilai mendidik, karena yang dihitung cuma tatap muka atau mengajar.

Ketiga, mengurangi penghargaan pada guru, dan apresiasi kinerja guru dengan materi. Jam wajib kerja guru 24 jam tatap muka per minggu dan dibayar TFG. Ini disinyalir upaya dalam mengevaluasi kinerja guru berdasarkan kuantitas jam kerja bukan kualitas hasil kerja.

Jangan heran bila banyak oknum guru yang ‘pontang-panting’ mencari jam tambahan di sekolah lain hanya untuk mencukupi jam kerjanya sehingga berhak mendapatkan TFG. Akibatnya, energinya terkuras ‘di jalan’ sehingga PP pada kedua sekolah itu tidak maksimal.

Keempat, menyibukkan guru dengan persiapan administrasi pembelajaran, tugas guru itu merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran (UU Guru dan Dosen). Bukti dari melaksanakan tugas-tugas ini adalah setumpuk dokumen kertas. Dengan ‘mewajibkan’ guru membuat dokumen ini, secara otomatis, waktu kerja guru tersita karena begitu banyak yang diharus disiapkan.

Ini merupakan mengalihkan perhatian guru sebagai pendidik dengan berbagai macam kewajiban administratif semata, hingga terabaikan fungsi utama sebagai pendidik. Padahal, inti dari pendidikan adalah kualitas pelaksanaan pembelajaran bukan dokumen pembelajaran. Sebagus dan sesempurnanya dokumen pembelajaran, tidak berkontribusi banyak dalam membuat siswa pintar.

Kelima, membatasi guru dalam membuat Karya Tulis Ilmiah (KTI). Dalam Buku 4 Pembinaan dan Pengembangan Profesi Guru disebutkan paling banyak 3 tulisan dan 2 PTK per tahun yang dinilai.

Padahal, dalam setiap kesempatan, para stakeholder selalu meminta guru untuk kreatif dengan menulis KTI untuk menambah kompetensi guru. Tapi buku ini jelas sekali membatasi kreativitas guru. Kreativitas dan inovasi guru ‘dibatasi’. Pembatasan ini paradoks dengan tuntutan guru sebagai guru profesional dan mengebiri kemampuan guru dalam menulis.

Mungkin alasannya, kalau guru banyak menulis, akan mengganggu tugasnya sebagai guru. Ini adalah pendapat yang keliru dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Menulis sama sekali tidak mengganggu kegiatan guru dalam PP, bahkan sebaliknya, menulis menambah wawasan guru untuk PP. Menulis adalah cara guru belajar, memperkaya pengalaman.

Selamat Hari Pendidikan Nasional, Serentak Bergerak, Wujudkan Merdeka Belajar!

 

*) Penulis adalah Pendidik di Madrasah

OPINI

Penegakan Hukum Lingkungan di Tengah Bencana Ekologis Sumatera: Analisis Dampak terhadap Hak Keberlanjutan

Oleh: Noly Wijaya*

DETAIL.ID

Published

on

BENCANA ekologis yang melanda Pulau Sumatera sepanjang akhir 2025, khususnya di Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar), bukan hanya menuntut respons darurat, tetapi juga evaluasi mendalam terhadap penegakan hukum lingkungan.

Curah hujan ekstrem yang dipicu Siklon Tropis Senyar pada 24–30 November 2025 telah memicu banjir bandang dan tanah longsor yang menewaskan 969 jiwa—391 di Aceh, 340 di Sumut, dan 238 di Sumbar—serta menyebabkan 212 orang hilang hingga 11 Desember, menurut data terbaru Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Tragedi ini, yang menjadi korban terbesar sejak tsunami Palu 2018, merupakan akibat langsung dari deforestasi seluas 1,4 juta hektare antara 2016–2025 akibat pertambangan ilegal dan illegal logging, yang melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Dampaknya tidak hanya ekologis, tetapi juga menggerus hak keberlanjutan generasi mendatang, sebagaimana dijamin Pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945.

Kegagalan Penegakan Hukum sebagai Pemicu Bencana Ekologis

Penegakan hukum lingkungan di Sumatera masih terhambat oleh lemahnya pengawasan dan prioritas ekonomi di atas kelestarian alam. Aktivitas pertambangan emas ilegal dan pembukaan lahan sawit tanpa izin lingkungan sah telah merusak hulu Daerah Aliran Sungai (DAS), mempercepat erosi tanah dan banjir. Pasal 98 UUPPLH secara eksplisit mengatur sanksi pidana hingga 10 tahun penjara bagi pelaku perusakan lingkungan yang mengakibatkan kerugian ekologis, sementara Pasal 50 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengancam pidana bagi illegal logging.

Namun, realitasnya, praktik ini berlangsung tanpa penindakan tegas, seperti yang terlihat dari penyegelan 11 subjek hukum oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) baru-baru ini atas dugaan perusakan hutan di Sumatera. Respons seperti pengumpulan bahan keterangan oleh Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) Kehutanan terhadap 12 entitas di Tapanuli terasa reaktif, bukan preventif, dan sering kali terhambat oleh indikasi korupsi dalam pemberian izin usaha pertambangan (IUP).

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyebut fenomena ini sebagai “legalisasi bencana ekologis,” di mana negara membiarkan deforestasi dan tambang ilegal sebagai bentuk kelalaian struktural. Kejaksaan Agung telah menerjunkan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) untuk mengusut pembukaan lahan tambang ilegal di Sumatera, tetapi kritik muncul karena kurangnya audit independen dan moratorium izin baru. Kasus serupa pada 2023 di Sihotang dan Simangulampe, yang menewaskan puluhan jiwa, menunjukkan pola berulang tanpa pembelajaran hukum yang signifikan.

Referensi Kasus Internasional: Pembelajaran dari Pengadilan Regional dan Global

Pengalaman internasional menunjukkan bahwa penegakan hukum lingkungan yang tegas dapat menjadi alat efektif untuk melindungi hak keberlanjutan. Di tingkat regional, European Court of Human Rights (ECtHR) dalam kasus Verein KlimaSeniorinnen Schweiz and Others v. Switzerland (2024) memutuskan bahwa kelalaian negara dalam mitigasi perubahan iklim melanggar hak atas kehidupan pribadi dan keluarga (Pasal 8 ECHR), karena dampak iklim seperti gelombang panas mengancam kesehatan dan kesejahteraan.

Putusan ini menetapkan kewajiban positif negara untuk mengadopsi langkah mitigasi ambisius, mirip dengan tuntutan citizen lawsuit di Sumbar terhadap kelalaian pencegahan bencana.
Sementara itu, Inter-American Court of Human Rights (IACtHR) dalam kasus Lhaka Honhat Indigenous Communities v. Argentina (2020) untuk pertama kalinya mengakui hak atas lingkungan sehat secara otonom berdasarkan Pasal 26 American Convention on Human Rights, terkait deforestasi yang melanggar hak masyarakat adat atas makanan, air, dan identitas budaya.

Pengadilan memerintahkan restorasi hutan dan akses sumber daya, menekankan interdependensi hak lingkungan dengan hak adat—relevan dengan kerusakan tanah ulayat di Sumatera akibat tambang ilegal.
Di tingkat global, International Court of Justice (ICJ) dalam Advisory Opinion on Obligations of States in respect of Climate Change (2025) menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban hukum untuk mencegah kerusakan lingkungan signifikan, termasuk dari emisi antropogenik, dan bahwa kegagalan ini dapat melanggar hak asasi manusia generasi mendatang.

Prinsip strict liability juga terlihat dalam kasus historis seperti Trail Smelter Arbitration (1938–1941), di mana Kanada bertanggung jawab mutlak atas kerusakan transboundary akibat polusi smelter, tanpa perlu bukti kesalahan.

Kasus-kasus ini memperkuat argumen bahwa bencana Sumatera merupakan pelanggaran HAM struktural, sebagaimana ditegaskan Yayasan TIFA. Korban tidak hanya kehilangan nyawa dan harta, tetapi juga hak atas remedy komprehensif—ekonomi, sosial, dan budaya—sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Dampak terhadap Hak Keberlanjutan: Pelanggaran HAM Struktural dan Ancaman Generasi Mendatang

Bencana ini bukan sekadar force majeure, melainkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) struktural atas lingkungan sehat dan keberlanjutan. Di Sumbar, misalnya, warga telah mengajukan Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit) terhadap Presiden Prabowo Subianto dan 11 pejabat pusat-daerah atas kelalaian pencegahan bencana, dengan dasar Pasal 90 UUPPLH yang mewajibkan restorasi lingkungan rusak. Gugatan ini menyoroti bagaimana kerusakan ekologis akibat illegal mining dan logging mengancam hak konsumen atas lingkungan aman, sebagaimana dianalisis Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Dampak keberlanjutan semakin parah: degradasi hutan primer melepaskan karbon masif, memperburuk perubahan iklim global dan mengancam biodiversitas seperti habitat harimau Sumatera. Secara ekonomi, kerugian mencapai triliunan rupiah dari rusaknya infrastruktur dan hilangnya produktivitas pertanian, sementara sosialnya, masyarakat adat kehilangan tanah ulayat, memicu konflik dan migrasi paksa. Pendekatan green victimology memandang korban sebagai korban viktimisasi ekologis akibat kapitalisme ekstraktif, yang menuntut reformasi hukum untuk melindungi hak generasi mendatang atas sumber daya alam berkelanjutan.

Menuju Reformasi: Moratorium, Nature-Based Solutions, dan Taubat Ekologis

Untuk mengatasi ini, diperlukan moratorium evaluasi seluruh IUP tambang di kawasan rentan, sebagaimana didesak kelompok masyarakat sipil. Nature-based solutions berbasis hak adat, seperti restorasi hutan oleh komunitas lokal, harus menjadi prioritas untuk menyelamatkan “jantung ekologis” Asia Tenggara. Reformasi Undang-Undang Kehutanan diperlukan untuk mengintegrasikan prinsip strict liability dan penguatan peran masyarakat sipil dalam pengawasan.

Pemerintah harus menetapkan status darurat nasional untuk membuka akses kompensasi bagi korban, termasuk ganti rugi dan identifikasi kerugian ekologis.
Bencana Sumatera 2025 adalah panggilan untuk taubat ekologis kolektif: merefleksikan ulang politik hukum yang mengorbankan alam demi pertumbuhan. Tanpa penegakan hukum yang transformatif, hak keberlanjutan akan terus dirampas, meninggalkan warisan kehancuran bagi anak cucu kita. Saatnya bertindak, sebelum tragedi berulang.

*Mahasiswa Program Doktoral Fakultas Ilmu Hukum, Universitas Jambi

Continue Reading

OPINI

Krisis Ekologis di Aceh, Sumut, dan Sumbar: Bencana yang Kita Ciptakan Sendiri

Oleh: Nazli (Budak Dusun)

DETAIL.ID

Published

on

BANJIR bandang, longsor, dan meluapnya sungai di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat kembali memperlihatkan kenyataan yang selama ini dihindari: sebagian besar bencana hidrometeorologis di negeri ini bukanlah peristiwa alamiah yang datang tiba-tiba, melainkan buah dari kerusakan ekologis yang dibiarkan berlangsung selama puluhan tahun. Ketika hulu dieksploitasi, DAS dirusak, dan kawasan lindung diubah menjadi area produksi, maka bencana hanyalah konsekuensi logis.

Selama ini, kita terlalu nyaman berlindung di balik narasi “cuaca ekstrem” atau “ini musibah”. Padahal penyebab strukturalnya sudah jelas: deforestasi masif, tata ruang yang longgar, serta lemahnya pengawasan dan penegakan hukum. Bencana ini bukan sekadar fenomena alam, tetapi refleksi dari tata kelola lingkungan yang gagal.

Tutupan Hutan yang Menyusut dan Fungsi Lindung yang Hilang
Aceh, Sumut, dan Sumbar merupakan kawasan dengan topografi sensitif yang sangat bergantung pada stabilitas hutan alam. Namun dalam 5 – 10 tahun terakhir, tutupan hutan di tiga provinsi itu menurun drastis akibat ekspansi perkebunan dan kegiatan pertambangan. Hilangnya vegetasi penahan air memperbesar limpasan permukaan, mempercepat sedimentasi sungai, dan membuat lereng semakin rentan longsor.
Ketika fungsi lindung menghilang, tanah kehilangan kemampuan menahan air. Sungai kehilangan ruang alirnya. Pada akhirnya masyarakat di hilir menjadi korban keputusan yang tidak mereka buat.

Tumpang Tindih Perizinan dan Pengawasan yang Terlambat
Salah satu sumber masalah terbesar adalah tumpang tindihnya izin lahan. Banyak konsesi diberikan tanpa pertimbangan matang terhadap bentang alam dan kapasitas ekosistem. Lebih parah lagi, mekanisme pengawasan pada banyak kasus tidak berjalan efektif. Pemerintah sering kali baru hadir setelah rumah-rumah hanyut atau korban berjatuhan.
Pendekatan reaktif semacam ini tidak lagi relevan. Dengan frekuensi bencana yang semakin meningkat, negara harus bergerak sebagai pengelola risiko, bukan sekadar responsor darurat.

Ketika Kepentingan Ekonomi Mengalahkan Kepentingan Ekologis
Dalam sejumlah kasus, kebijakan tata ruang dan perlindungan lingkungan tergerus oleh kepentingan ekonomi jangka pendek. Hubungan yang terlalu dekat antara pengambil kebijakan dan pemilik modal membuat banyak keputusan strategis kehilangan perspektif ekologis. Akibatnya, kawasan rawan tetap dieksploitasi dan risiko bencana terus meningkat.
Selama kebijakan lingkungan dapat dinegosiasikan, selama itu pula masyarakat akan tetap berada dalam ancaman bencana yang sebenarnya bisa dicegah.

Apa yang Harus Dilakukan?

1. Moratorium Izin di Kawasan Rawan
Pemerintah perlu memberlakukan moratorium total terhadap izin baru di hulu DAS, lereng curam, dan kawasan rawan bencana. Moratorium harus diikuti audit menyeluruh terhadap konsesi yang sudah berjalan.
2. Audit Lingkungan yang Transparan dan Dapat Diakses Publik
Semua hasil audit harus dipublikasikan, termasuk siapa yang melanggar, apa pelanggarannya, dan bagaimana tindak lanjut penegakannya. Transparansi adalah fondasi akuntabilitas.
3. Penegakan Hukum Tanpa Kompromi
Pelanggaran lingkungan harus diperlakukan sebagai kejahatan serius. Penegakan hukum yang konsisten dan tidak tebang pilih adalah langkah penting untuk menghentikan budaya pembiaran.
4. Rehabilitasi DAS dan Reforestasi Berbasis Sains
Restorasi lingkungan harus dilakukan secara terukur, bukan sekadar seremonial. Prioritasnya meliputi stabilisasi lereng, pemulihan resapan, penguatan bantaran sungai, dan peningkatan tutupan vegetasi.
5. Penataan Ulang Tata Ruang
Tata ruang di ketiga provinsi itu perlu dikaji ulang secara ilmiah dengan mempertimbangkan faktor geologi, hidrologi, dan proyeksi risiko bencana. Kebijakan tata ruang tidak boleh lagi tunduk pada tekanan ekonomi jangka pendek.

Penutup
Bencana di Aceh, Sumut, dan Sumbar bukanlah kejadian yang tak terelakkan. Ia adalah akumulasi dari kebijakan yang mengabaikan keseimbangan ekologis. Setiap musim hujan kini menjadi pengingat bahwa kita sedang membayar mahal keputusan yang keliru.

Sudah saatnya negara mengembalikan keberpihakan pada keselamatan warganya dan keberlanjutan lingkungan hidup. Jika tidak, tragedi yang kita saksikan hari ini akan terus berulang dan sejarah akan mencatat bahwa bencana itu sebenarnya bisa dicegah.

Continue Reading

OPINI

Politik Hukum dalam Pembentukan Undang-Undang: Meneguhkan Prinsip Negara Hukum atau Menegaskan Dominasi Kekuasaan?

Oleh: Juwika Pasaribu (P2B125067)*

DETAIL.ID

Published

on

DALAM idealitas konstitusi, hukum berada di atas kekuasaan. Namun dalam praktik politik hukum Indonesia, garis itu kerap kabur. Legislasi yang seharusnya menjadi wujud kehendak rakyat justru sering berubah menjadi instrumen politik kekuasaan. Pertanyaan mendasarnya pun muncul: apakah politik hukum Indonesia hari ini meneguhkan prinsip negara hukum atau justru menegaskan dominasi kekuasaan?

Secara konseptual, politik hukum adalah arah kebijakan hukum nasional yang menentukan bagaimana hukum dibentuk, diterapkan, dan ditegakkan dalam suatu negara. Mahfud MD (2009) mendefinisikannya sebagai kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan untuk mencapai citacita bangsa. Dengan kata lain, politik hukum adalah kompas yang seharusnya menuntun pembentukan undang-undang agar selaras dengan nilai-nilai konstitusi, bukan sekadar kepentingan penguasa.

Namun, praktik politik hukum Indonesia belakangan menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Contoh konkretnya dalam Revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), pengesahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja hingga pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara memperlihatkan kecenderungan kuat bahwa politik hukum lebih banyak diarahkan untuk memperkuat struktur kekuasaan ketimbang mewujudkan keadilan sosial dan aspirasi masyarakat.

Revisi Undang-Undang KPK pada penerapannya dinilai akan melemahkan independensi lembaga antikorupsi, Undang-Undang Cipta Kerja disahkan secara tergesa tanpa partisipasi publik yang memadai dan bahkan dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, sementara UU IKN dinilai terburu-buru dan lebih mencerminkan kehendak politik pemerintah pusat daripada aspirasi rakyat.

Asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011 hanya dijalankan sebatas formalitas administratif tanpa makna substantif. Publik memang diundang dalam forum konsultasi, tetapi ruang partisipasinya terbatas dan tidak berpengaruh signifikan terhadap hasil akhir. Proses legislasi seperti ini menggeser makna hukum dari instrumen keadilan menjadi alat legitimasi kebijakan yang pada akhirnya rakyat hanya menjadi penonton dalam drama hukum yang disutradarai oleh kekuasaan.

Kondisi ini mengikis prinsip dasar negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Negara hukum mensyaratkan supremasi hukum atas kekuasaan, perlindungan hak asasi, serta adanya partisipasi publik dalam proses legislasi. Ketika proses pembentukan undangundang lebih menonjolkan kepentingan politik jangka pendek, maka prinsip negara hukum terdegradasi menjadi sekadar slogan konstitusional. Pemerintah dan DPR kerap berdalih bahwa percepatan legislasi dibutuhkan untuk kepastian hukum dan efisiensi kebijakan.

Namun, kepastian hukum yang tidak dilandasi legitimasi publik justru menimbulkan ketidakpastian sosial. Kepastian hukum yang dibangun di atas dominasi politik adalah kepastian semu, stabil di permukaan tetapi rapuh di dasar. Padahal, menurut Satjipto Rahardjo, hukum seharusnya mengandung dimensi moral dan sosial yang berpihak pada keadilan, bukan sekadar mengabdi pada logika kekuasaan formal.

Dalam pandangan teori responsive law yang dikemukakan oleh Philip Nonet dan Philip Selznick, hukum ideal adalah hukum yang peka terhadap nilai-nilai masyarakat dan mampu beradaptasi terhadap tuntutan keadilan sosial. Artinya, pembentukan hukum harus partisipatif dan terbuka agar produk hukum tidak hanya sah secara formal, tetapi juga sah secara moral dan sosial. Karena itu, tantangan politik hukum Indonesia ke depan bukan hanya soal memperbanyak produk legislasi, tetapi menata kembali orientasinya. Hukum harus kembali menjadi instrumen moral untuk menegakkan keadilan, bukan alat taktis kekuasaan. Pemerintah dan DPR perlu mengembalikan fungsi legislasi sebagai ruang deliberatif yang mengutamakan dialog, transparansi, dan akuntabilitas.

Partisipasi publik harus dihidupkan kembali secara bermakna, bukan sekadar diundang dalam dengar pendapat, tetapi benar-benar dilibatkan dalam penyusunan kebijakan sejak tahap perencanaan hingga evaluasi. Asas keterbukaan tidak boleh berhenti di meja administratif, melainkan menjadi ukuran kualitas demokrasi hukum. Tanpa pembenahan arah politik hukum, Indonesia berisiko terus melahirkan undang-undang yang sah secara formal namun kehilangan legitimasi sosial.

Ketika legitimasi publik hilang, hukum tidak lagi menjadi pemandu kehidupan bernegara, melainkan hanya pelengkap formal dari kehendak kekuasaan. Pada akhirnya, ukuran kemajuan negara hukum bukan terletak pada banyaknya undang-undang yang dihasilkan, melainkan pada sejauh mana hukum benarbenar menjadi penuntun bagi kekuasaan, bukan pelayannya

*Penulis merupakan mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi.

Continue Reading
Advertisement Advertisement
Advertisement ads

Dilarang menyalin atau mengambil artikel dan property pada situs