OPINI
Hardiknas dan “Kesaktian” Guru
TAHUN 2021, Hardiknas masih diperingati di tengah situasi pandemi Covid-19 seperti tahun lalu. Kemendikbud melalui Surat Edaran Mendikbud Nomor: 27664/MPK.A/TU.02.03/2021 menyampaikan sejumlah imbauan.
Intinya, imbauan agar semua pihak menyelenggarakan aktivitas/kegiatan memperingati dan memeriahkan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2021 secara kreatif, menjaga dan membangkitkan semangat belajar pada masa darurat Covid-19, serta mendorong pelibatan dan partisipasi publik, dengan tetap mematuhi protokol kesehatan dalam upaya pencegahan penyebaran Covid-19.
Diyakini, Hari Pendidikan Nasional tidak semata-mata dimaksudkan untuk mengenang hari kelahiran Ki Hadjar Dewantara selaku Bapak Perintis Pendidikan Nasional, namun lebih merupakan sebuah momentum untuk kembali menumbuhkan rasa patriotisme dan nasionalisme bagi seluruh insan pendidikan. Tema peringatan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2021 adalah “Serentak Bergerak, Wujudkan Merdeka Belajar”. (Kompas)
Harus diakui bahwa guru sebagai entitas terdepan mewujudkan “Serentak Bergerak, Wujudkan Merdeka Belajar”. Ini tentu bukan pekerjaan mudah. Perlu kolaborasi dengan berbagai pihak apalagi dalam kondisi pandemi.
Bagi guru, ada satu opini yang membuat beban guru menjadi lebih berat. Masih ada pihak yang menganggap guru sebagai ‘manusia unggul’, manusia yang berbeda dengan manusia lain. Boleh dikata, manusia sakti.
Manusia sakti ini kelihatan dalam beberapa kondisi, misal pandemi Covid-19. Para stakeholder pendidikan seolah olah sudah sepakat membedakan perlakuan antara guru dan siswa. Di saat pandemi belum berakhir, bahkan di beberapa daerah berada di zona merah, muncul Surat Edaran: siswa belajar dari rumah (BDR) sedang guru ‘wajib’ mengisi presensi di sekolah/madrasah.
Kebijakan ini menasbihkan bahwa guru adalah orang yang tahan penyakit, kebal dengan virus corona, dalam kondisi apa pun harus ‘selfie’ untuk presensi di sekolah/madrasah. Padahal, pemerintah sudah dengan terang benderang menyatakan bahwa pembelajaran selama pandemi mengutamakan keselamatan dan kesehatan warga sekolah/madrasah.
Padahal, banyak yang berpendapat bahwa untuk memutus mata rantai Covid-19, tindakan 5 M itu harus serentak dan bersama sama dilaksanakan apa pun profesinya. Tidak bijak berpendapat, guru ‘wajib’ ke sekolah/madrasah, karena jam kerja guru sudah ditentukan. Pemahaman yang rigid tentang aturan ini bisa jadi menjadi kluster baru penyebaran Covid-19.
Pada kondisi pandemi, guru bisa bekerja dari rumah, mengajar dari rumah, mengerjakan aktivitas pasca proses pembelajaran dari rumah tanpa mengurangi kualitas hasil. Kalau semua siswa ‘dirumahkan’, sedangkan guru ‘diharuskan berkerumun dan bepergian’, maka percuma, siswa dirumahkan, dikhawatirkan, siswa yang sudah ‘aman’, akan bertemu dengan guru yang ‘berkerumun dan bepergian’.
Dipastikan, setiap kesuksesan diawali dan diakhiri dengan pendidikan. Kesuksesan tanpa proses pendidikan adalah khayalan. Pendidikan merupakan soft power, kekuatan sejati yang tidak kasat mata tetapi semua orang memerlukan dan merasakan kekuatannya. Pendidikan memberikan pengaruh yang amat besar dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, walaupun banyak yang mengganggu, tapi guru tetap sabar:
Pertama, memperbanyak workshop, seminar, diklat yang berisi ceramah tentang kurikulum, perencanaan pembelajaran, dan lain-lain. Pokoknya acara itu terlaksana agar kelihatan bekerja, dana segera cair dan guru dapat sertifikat.
[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical”]
Yang dibicarakan cenderung ‘apa itu’: Apa itu kurikulum? Apa itu RPP? Apa itu mengajar? Dan lain-lain. Padahal yang penting bagi guru ‘bagaimana itu”: Bagaimana mengajar? Bagaimana menilai? Dan lain-lain yang sesuai dengan konteks sekolah.
Kedua, persempit ‘area’ tugas guru. Dalam peraturan apa pun yang dikeluarkan pemerintah dicantumkan tugas guru itu adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. (UU RI Nomor 14 Tahun 2005). Tapi yang “dihargai” pemerintah melalui Tunjangan Fungsional Guru (TFG) adalah jam tatap muka (mengajar) 24 jam per minggu. Tatap muka dalam kelas saja yang diapresiasi. Bagaimana dengan kegiatan lain yang terjadi ‘di luar tatap muka? Padahal banyak unsur edukatif terjadi di luar ‘tatap muka’ untuk membelajarkan siswa. Wajar bila Proses Pembelajaran (selanjutnya disingkat PP) ‘kering’ dari nilai mendidik, karena yang dihitung cuma tatap muka atau mengajar.
Ketiga, mengurangi penghargaan pada guru, dan apresiasi kinerja guru dengan materi. Jam wajib kerja guru 24 jam tatap muka per minggu dan dibayar TFG. Ini disinyalir upaya dalam mengevaluasi kinerja guru berdasarkan kuantitas jam kerja bukan kualitas hasil kerja.
Jangan heran bila banyak oknum guru yang ‘pontang-panting’ mencari jam tambahan di sekolah lain hanya untuk mencukupi jam kerjanya sehingga berhak mendapatkan TFG. Akibatnya, energinya terkuras ‘di jalan’ sehingga PP pada kedua sekolah itu tidak maksimal.
Keempat, menyibukkan guru dengan persiapan administrasi pembelajaran, tugas guru itu merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran (UU Guru dan Dosen). Bukti dari melaksanakan tugas-tugas ini adalah setumpuk dokumen kertas. Dengan ‘mewajibkan’ guru membuat dokumen ini, secara otomatis, waktu kerja guru tersita karena begitu banyak yang diharus disiapkan.
Ini merupakan mengalihkan perhatian guru sebagai pendidik dengan berbagai macam kewajiban administratif semata, hingga terabaikan fungsi utama sebagai pendidik. Padahal, inti dari pendidikan adalah kualitas pelaksanaan pembelajaran bukan dokumen pembelajaran. Sebagus dan sesempurnanya dokumen pembelajaran, tidak berkontribusi banyak dalam membuat siswa pintar.
Kelima, membatasi guru dalam membuat Karya Tulis Ilmiah (KTI). Dalam Buku 4 Pembinaan dan Pengembangan Profesi Guru disebutkan paling banyak 3 tulisan dan 2 PTK per tahun yang dinilai.
Padahal, dalam setiap kesempatan, para stakeholder selalu meminta guru untuk kreatif dengan menulis KTI untuk menambah kompetensi guru. Tapi buku ini jelas sekali membatasi kreativitas guru. Kreativitas dan inovasi guru ‘dibatasi’. Pembatasan ini paradoks dengan tuntutan guru sebagai guru profesional dan mengebiri kemampuan guru dalam menulis.
Mungkin alasannya, kalau guru banyak menulis, akan mengganggu tugasnya sebagai guru. Ini adalah pendapat yang keliru dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Menulis sama sekali tidak mengganggu kegiatan guru dalam PP, bahkan sebaliknya, menulis menambah wawasan guru untuk PP. Menulis adalah cara guru belajar, memperkaya pengalaman.
Selamat Hari Pendidikan Nasional, Serentak Bergerak, Wujudkan Merdeka Belajar!
*) Penulis adalah Pendidik di Madrasah
OPINI
Politik Hukum dalam Pembentukan Undang-Undang: Meneguhkan Prinsip Negara Hukum atau Menegaskan Dominasi Kekuasaan?
Oleh: Juwika Pasaribu (P2B125067)*
DALAM idealitas konstitusi, hukum berada di atas kekuasaan. Namun dalam praktik politik hukum Indonesia, garis itu kerap kabur. Legislasi yang seharusnya menjadi wujud kehendak rakyat justru sering berubah menjadi instrumen politik kekuasaan. Pertanyaan mendasarnya pun muncul: apakah politik hukum Indonesia hari ini meneguhkan prinsip negara hukum atau justru menegaskan dominasi kekuasaan?
Secara konseptual, politik hukum adalah arah kebijakan hukum nasional yang menentukan bagaimana hukum dibentuk, diterapkan, dan ditegakkan dalam suatu negara. Mahfud MD (2009) mendefinisikannya sebagai kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan untuk mencapai citacita bangsa. Dengan kata lain, politik hukum adalah kompas yang seharusnya menuntun pembentukan undang-undang agar selaras dengan nilai-nilai konstitusi, bukan sekadar kepentingan penguasa.
Namun, praktik politik hukum Indonesia belakangan menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Contoh konkretnya dalam Revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), pengesahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja hingga pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara memperlihatkan kecenderungan kuat bahwa politik hukum lebih banyak diarahkan untuk memperkuat struktur kekuasaan ketimbang mewujudkan keadilan sosial dan aspirasi masyarakat.
Revisi Undang-Undang KPK pada penerapannya dinilai akan melemahkan independensi lembaga antikorupsi, Undang-Undang Cipta Kerja disahkan secara tergesa tanpa partisipasi publik yang memadai dan bahkan dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, sementara UU IKN dinilai terburu-buru dan lebih mencerminkan kehendak politik pemerintah pusat daripada aspirasi rakyat.
Asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011 hanya dijalankan sebatas formalitas administratif tanpa makna substantif. Publik memang diundang dalam forum konsultasi, tetapi ruang partisipasinya terbatas dan tidak berpengaruh signifikan terhadap hasil akhir. Proses legislasi seperti ini menggeser makna hukum dari instrumen keadilan menjadi alat legitimasi kebijakan yang pada akhirnya rakyat hanya menjadi penonton dalam drama hukum yang disutradarai oleh kekuasaan.
Kondisi ini mengikis prinsip dasar negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Negara hukum mensyaratkan supremasi hukum atas kekuasaan, perlindungan hak asasi, serta adanya partisipasi publik dalam proses legislasi. Ketika proses pembentukan undangundang lebih menonjolkan kepentingan politik jangka pendek, maka prinsip negara hukum terdegradasi menjadi sekadar slogan konstitusional. Pemerintah dan DPR kerap berdalih bahwa percepatan legislasi dibutuhkan untuk kepastian hukum dan efisiensi kebijakan.
Namun, kepastian hukum yang tidak dilandasi legitimasi publik justru menimbulkan ketidakpastian sosial. Kepastian hukum yang dibangun di atas dominasi politik adalah kepastian semu, stabil di permukaan tetapi rapuh di dasar. Padahal, menurut Satjipto Rahardjo, hukum seharusnya mengandung dimensi moral dan sosial yang berpihak pada keadilan, bukan sekadar mengabdi pada logika kekuasaan formal.
Dalam pandangan teori responsive law yang dikemukakan oleh Philip Nonet dan Philip Selznick, hukum ideal adalah hukum yang peka terhadap nilai-nilai masyarakat dan mampu beradaptasi terhadap tuntutan keadilan sosial. Artinya, pembentukan hukum harus partisipatif dan terbuka agar produk hukum tidak hanya sah secara formal, tetapi juga sah secara moral dan sosial. Karena itu, tantangan politik hukum Indonesia ke depan bukan hanya soal memperbanyak produk legislasi, tetapi menata kembali orientasinya. Hukum harus kembali menjadi instrumen moral untuk menegakkan keadilan, bukan alat taktis kekuasaan. Pemerintah dan DPR perlu mengembalikan fungsi legislasi sebagai ruang deliberatif yang mengutamakan dialog, transparansi, dan akuntabilitas.
Partisipasi publik harus dihidupkan kembali secara bermakna, bukan sekadar diundang dalam dengar pendapat, tetapi benar-benar dilibatkan dalam penyusunan kebijakan sejak tahap perencanaan hingga evaluasi. Asas keterbukaan tidak boleh berhenti di meja administratif, melainkan menjadi ukuran kualitas demokrasi hukum. Tanpa pembenahan arah politik hukum, Indonesia berisiko terus melahirkan undang-undang yang sah secara formal namun kehilangan legitimasi sosial.
Ketika legitimasi publik hilang, hukum tidak lagi menjadi pemandu kehidupan bernegara, melainkan hanya pelengkap formal dari kehendak kekuasaan. Pada akhirnya, ukuran kemajuan negara hukum bukan terletak pada banyaknya undang-undang yang dihasilkan, melainkan pada sejauh mana hukum benarbenar menjadi penuntun bagi kekuasaan, bukan pelayannya
*Penulis merupakan mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi.
OPINI
Politik Hukum dalam UU Cipta Kerja: Ekonomi dan Keadilan Konstitusional
Oleh: Okto Simangunsong, S.H*
POLITIK hukum pada hakikatnya merupakan kebijakan dasar yang menentukan arah pembentukan dan penegakan hukum suatu negara. Mahfud MD mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang, dan telah berlaku untuk mencapai tujuan negara.
Definisi tersebut menegaskan bahwa hukum tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan merupakan hasil interaksi antara nilai, kekuasaan, dan kepentingan sosial-politik.
Dalam konteks Indonesia, politik hukum sering kali menjadi arena tarik-menarik antara tujuan pembangunan ekonomi dan prinsip keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. UU Cipta Kerja menjadi contoh konkret bagaimana arah politik hukum dapat bergeser menuju orientasi efisiensi ekonomi dengan mengorbankan partisipasi publik serta kualitas legislasi.
Metode omnibus law yang digunakan dalam pembentukan UU Cipta Kerja memang dimaksudkan untuk merapikan tumpang tindih regulasi dan mempercepat investasi. Namun, cara dan hasilnya menimbulkan kritik luas karena dinilai mengabaikan asas keterbukaan dan partisipasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Dasar Teoretis dan Kerangka Regulasi
Secara teoretis, politik hukum merupakan wujud nyata dari policy oriented law making, di mana pembentukan hukum diarahkan oleh agenda politik negara. Menurut Padmo Wahyono (1986), politik hukum adalah kebijakan dasar dalam bidang hukum yang menjadi pedoman bagi pembentukan hukum untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Dengan demikian, politik hukum memiliki dua dimensi yakni normatif dan politis.
Dalam kerangka konstitusional, pengawasan terhadap produk politik hukum dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui kewenangan judicial review sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Mekanisme ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa setiap undang-undang selaras dengan prinsip konstitusi, terutama dalam hal keadilan, keterbukaan, dan penghormatan terhadap hak-hak warga negara.
UU Cipta Kerja dan revisinya melalui UU Nomor 6 Tahun 2023 menjadi ujian nyata bagi kedua aspek tersebut, apakah politik hukum pembentukannya masih berada dalam koridor konstitusi, dan sejauh mana MK berperan menjaga keseimbangan antara kekuasaan politik dan supremasi hukum.
Analisis Politik Hukum dalam UU Cipta Kerja
UU Cipta Kerja menunjukkan bahwa politik hukum Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh kekuasaan eksekutif. Pemerintah, dengan dukungan mayoritas politik di DPR, berhasil mendorong lahirnya undang-undang yang mengubah lebih dari 70 undang-undang sektoral sekaligus. Proses legislasi yang cepat, tertutup, dan minim partisipasi publik memperlihatkan bahwa hukum telah dijadikan instrumen kebijakan pembangunan ekonomi.
Kondisi ini memperlihatkan gejala instrumentalization of law hukum tidak lagi menjadi alat kontrol terhadap kekuasaan, melainkan alat legitimasi kekuasaan itu sendiri. Dalam konteks ini, efisiensi prosedural digunakan sebagai alasan untuk mengesampingkan nilai-nilai demokrasi substantif.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat merupakan wujud dari pengawasan konstitusional yang efektif. MK menegaskan bahwa pembentukan undang-undang harus memenuhi asas partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) sebagai bagian dari prinsip negara hukum.
Namun, tindak lanjut pemerintah melalui penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023, memperlihatkan kecenderungan resistensi terhadap koreksi yudisial. Alih-alih memperbaiki proses legislasi, pemerintah justru mengulangi pendekatan serupa dengan dalih mendesak kebutuhan ekonomi nasional. Fenomena ini memperlihatkan bahwa politik hukum di Indonesia masih belum sepenuhnya menghormati prinsip checks and balances.
Secara filosofis, politik hukum seharusnya berorientasi pada rule of law, yakni menempatkan hukum di atas kekuasaan. Namun praktik dalam pembentukan dan perubahan UU Cipta Kerja justru mencerminkan rule by law, yaitu penggunaan hukum sebagai instrumen legitimasi kebijakan politik.
Ketika hukum dikendalikan oleh kekuasaan politik, maka fungsi normatifnya sebagai pelindung keadilan sosial dan lingkungan hidup melemah. Akibatnya, hukum kehilangan legitimasi moral di mata publik.
Politik hukum pembentukan UU Cipta Kerja menunjukkan dua wajah. Di satu sisi, hukum berfungsi sebagai sarana untuk mempercepat pembangunan ekonomi dan investasi. Namun di sisi lain, hukum kehilangan fungsi sosialnya sebagai instrumen keadilan. Keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan substantif menjadi terdistorsi.
Partisipasi publik yang minim dan pengabaian terhadap asas keterbukaan telah menimbulkan defisit legitimasi dalam politik hukum nasional. Ketika hukum tidak lagi dipersepsikan sebagai milik bersama, melainkan sebagai produk elit politik, maka kepercayaan publik terhadap negara hukum pun melemah.
Penutup
UU Cipta Kerja menjadi cermin nyata bagaimana politik hukum dapat bergeser dari orientasi keadilan menuju pragmatisme ekonomi. Dominasi eksekutif, lemahnya partisipasi publik, dan resistensi terhadap pengawasan yudisial menandakan bahwa sistem hukum Indonesia masih rentan terhadap politisasi.
Untuk membangun politik hukum yang konstitusional, dibutuhkan komitmen pada tiga hal pokok; (1). Menegakkan asas partisipasi publik yang bermakna dalam setiap proses legislasi. (2). Menghormati putusan Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk kontrol konstitusional, bukan sekadar formalitas hukum. (3). Menempatkan hukum sebagai sarana keadilan sosial, bukan alat legitimasi kebijakan ekonomi.
Hukum yang baik bukanlah hukum yang paling efisien, tetapi hukum yang paling adil. Politik hukum yang berorientasi pada keadilan konstitusional akan memastikan bahwa pembangunan ekonomi tidak mengorbankan hak rakyat dan prinsip negara hukum.
*Penulis merupakan Advokad dan mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi.
PERNYATAAN Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini layak diapresiasi tinggi oleh rakyat. Dalam arahannya, Presiden menegaskan agar aparat penegak hukum tidak berbuat dzalim terhadap rakyat kecil dan tidak menjadikan hukum sebagai alat penindasan.
“Saya ingatkan terus kejaksaan, kepolisian, jangan kriminalisasi sesuatu yang tidak ada. Hukum jangan tumpul ke atas, tajam ke bawah,” ujar Prabowo di kantor Kejaksaan Agung usai menyaksikan penyerahan uang pengganti kerugian kasus CPO di Jakarta pada Senin, 20 Oktober 2025.
Pernyataan tersebut bukanlah basa-basi politik, melainkan tamparan moral bagi institusi penegak hukum yang selama ini dinilai gagal menjaga rasa keadilan publik. Kalimat Prabowo menyentuh inti luka sosial bangsa dan “ketimpangan penegakan hukum”.
Kita tidak menutup mata: hukum di Indonesia masih sering berpihak pada mereka yang memiliki kekuasaan dan kekayaan. Rakyat kecil bisa dijerat karena perkara sepele, ada seorang ibu rumah tangga ditahan karena mencuri kayu bakar, seorang petani dipenjara karena bersengketa dengan perusahaan besar, seorang anak sekolah diseret ke pengadilan karena mencuri ayam.
Namun di sisi lain, pelanggaran besar oleh korporasi perusak lingkungan, pengemplang pajak, atau pelaku korupsi kerap “diselesaikan dengan pendekatan kekeluargaan”.
Inilah wajah hukum yang menakutkan bagi yang lemah, tapi lembek terhadap yang kuat.
Hukum yang tidak lagi menjadi pelindung keadilan, melainkan alat kekuasaan.
Kriminalisasi rakyat kecil bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah kemanusiaan. Banyak kasus bukan lahir dari niat jahat, tetapi dari kemiskinan yang sistemik. Petani yang menggarap tanah turun-temurun dianggap menyerobot lahan perusahaan; nelayan kecil yang mencari ikan dianggap melanggar izin laut; warga miskin kota yang berdagang di trotoar ditertibkan tanpa solusi.
Inilah bentuk nyata kriminalisasi kemiskinan, ketika hidup sederhana dianggap pelanggaran, dan perjuangan bertahan hidup dianggap kejahatan.
Pesan Presiden Prabowo seharusnya membuka mata para penegak hukum bahwa keadilan tidak bisa diukur dari seberapa banyak orang ditangkap, tetapi diukur seberapa adil hukum ditegakkan.
Kini saatnya aparat hukum membuktikan diri: apakah pesan Presiden hanya akan menjadi hiasan berita, atau benar-benar dijalankan di lapangan. Polisi, jaksa, dan hakim harus mulai bekerja dengan nurani. Karena hukum tanpa empati adalah kezaliman yang dilegalkan.
Bila rakyat kecil bisa diproses cepat, maka pelaku besar juga harus diproses lebih cepat. Bila rakyat miskin bisa diseret ke pengadilan, maka pengusaha dan pejabat yang korup juga harus diseret, tanpa pandang bulu.
Rakyat kecil kini menaruh harapan baru pada Presiden Prabowo. Namun harapan itu hanya akan hidup bila aparat hukum menindaklanjuti pesan beliau dengan tindakan nyata. Karena rakyat sudah terlalu sering mendengar janji keadilan, tapi jarang merasakannya.
Bila hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka rakyat akan terus kehilangan kepercayaan. Dan bila kepercayaan rakyat telah hilang, maka hukum kehilangan wibawa, dan negara kehilangan jiwanya.
*Humas DPD Gerindra Jambi

