Gus Yahya menjadi pemenang dalam Muktamar NU di Lampung yang dibuka langsung oleh Presiden Republik Indonesia, Ir Joko Widodo pada Rabu 22 Desember 2021 dan ditutup oleh Wakil Presiden Republik Indonesia KH Ma’aruf Amin, Jum’at 24 Desember 2021.
Dalam acara Muktamar pemilihan Ketua Umum PBNU yang demokratis dan mengedepankan musyawarah mufakat
tersebut, Gus Yahya berhasil memperoleh 337 suara dari 552 hak suara.
Menurut Alven Stony, selaku Managing Director Tim Rebranding dan Inseminai Media Sosial Gus Yahya untuk menjadi Ketua Umum NU. Kemenangan Gus Yahya tidak luput dari peran besar jaringan dan kawan-kawannya baik dari NU, UGM, HMI, Ansor, PMII, maupun simpul jaringan lainnya yang telah banyak mendukung Gerakan Menghidupkan Gus Dur.
Muktamar NU merupakan momentum untuk merajut Kebangsaan, menenun kebhinekaan antar sesama anak bangsa, guna menumbuhkan rasa nasionalisme. Hal ini merupakan determinan penting bagi sebuah bangsa untuk terus menjaga dan meningkatkan kompetisi di panggung dunia.
Diperlukan reaktualisasi nasionalisme agar tidak terjebak pada romantisme kesejarahan belaka. Konteks terkini dari Nasionalisme adalah menjaga kebersamaan ditengah kemajemukan dan keberagaman. Menjaga kebersamaan dalam kebhinekaan adalah mutlak agar perahu Indonesia dapat berlayar dengan baik mencapai tujuan.
Kebersamaan yang didasarkan satu perasaan Nasionalisme kebangsaan yang kuat tentu dapat menyampingkan potensi konflik karena beragamnya perbedaan. Jika rajut kebangsaan dalam kebhinekaan yang terjalin kuat, Indonesia tentu dapat menjadi salah satu kekuatan utama di dunia.
Pada gilirannya Indonesia dapat menjadi penyeimbang dalam dinamika global yang saat ini tengah menghadapi tantangan akibat pertentangan Amerika Serikat dengan Tiongkok yang semakin dramatis. Dalam segi apapun Indonesia memiliki semua yang dibutuhkan untuk mengembangkan politik penyeimbang dalam dunia internasional.
Jika menengok yang terjadi belakangan negeri ini menghadapi berbagai tantangan, salah satunya terjadinya polarisasi ditengah masyarakat akibat perbedaan dukungan politik. Kita seolah terjebak dalam kontestasi tak berkesudahan dan kita lupa pada esensi demokrasi Pancasila yang meniscayakan persatuan.
Keterbelahan semakin dipertajam dalam iklim post-truth yang masih menghantui hingga kini. Masing-masing kelompok hanya mau membenarkan yang mereka percayai, bukan percaya pada kebenaran itu sendiri. Bahkan jika sebuah kebohongan memperkuat apa yang dipercaya, maka ia bisa dianggap sebagai kebenaran.
Dalam post-truth, batas antara kebenaran dan kebohongan sengaja dikaburkan. Masyarakat semakin tersekat sekat, satu sama lain saling menistakan. Ekspresi berdemokrasi menjauhi nilai luhur tepo seliro dan pertengkaran tak berkesudahan seperti sulit didamaikan. Perbedaan semakin dipertajam dengan permainan sentimen agama. Dogma-dogma agama ditempatkan dalam konteks yang tidak tepat, ditafsirkan berdasar keinginan politiknya sendiri.
Padahal kebersamaan adalah modal kuat agar setiap pemerintahan dapat berjalan dengan dukungan kuat seluruh elemen bangsa. Apalagi kita telah menyepakati sistem pemerintahan presidensial, dimana presiden dipilih langsung oleh dukungan masyarakat atau rakyat. Dukungan kuat rakyat adalah kata kunci supaya pemerintahan berjalan tanpa kegaduhan yang tidak perlu. Kegaduhan yang berlebihan dapat menimbulkan keresahan sosial dimasyarakat. Demokrasi tidak boleh dijalankan secara berlebihan dan salah kaprah.
Bangsa ini sesungguhnya masih merayakan demokrasi yang secara utuh diraih semenjak gelombang reformasi ’98. Proses transisi dari rezim otoritarian soeharto ke era yang demokratis telah berlangsung lebih dari dua dasawarsa. Jika dibandingkan dengan Amerika Serikat atau negara-negara dibelahan Eropa Barat, umur demokrasi di Indonesia terbilang muda. Namun mengingat otoritarianisme sudah berlangsung lebih dari tiga dasawarsa di negeri ini, maka perjalanan transisi yang terhitung singkat itu bisa dikatakan berhasil.
Indonesia malah disebut-sebut sebagai negara demokratis ketiga terbesar di dunia karena empat kali berhasil menyelenggarakan pemilihan umum secara langsung. Kebebasan pers, sebagai salah satu indikator keberhasilan demokrasi berlangsung mulus tanpa dibayangi ketakutan sebagaimana terjadi dimasa silam. Perekonomian Indonesia pun termasuk dalam katagori stabil dan terus tumbuh, meski gejolak ekonomi dunia berkali kali menghantam.
Tantangan yang akan dihadapi bangsa ini kedepannya semakin berat. Dukungan terhadap Pancasila dan UUD 1945 akan terus mengalami pasang surut. Kompetisi global memasuki era baru, dimana penguasaan teknologi menjadi kunci memenangkan pertarungan.
Disisi lain dunia tengah mengalami persoalan berat akibat pandemi Covid19. Tidak ada satupun negara di dunia yang tidak terdampak. Tidak ada siapapun yang dapat serta mampu memastikan bahwasanya kapan pastinya pandemi ini dapat betul berakhir. Selain itu, gelombang untuk mengubah dasar negara dan utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia belakangan ini dirasa juga menjadi sebuah kekhawatiran.
Karenanya, pertarungan gagasan diruang publik untuk memenangkan Nasionalisme Kebangsaan Indonesia harus dimenangkan. Membangun kebersamaan sebagai sebuah bangsa bukan hanya harus dilakukan, namun kian menuntut percepatan. Merajut kebhinekaan tidak bisa dilakukan dengan cara biasa, melainkan membutuhkan kesadaran kolektif seluruh elemen tanpa memandang latar belakang dukungan politik, agama, suku, ras, etnis, dan golongan.
Akselerasi untuk meningkatkan kualitas anak bangsa agar mampu berdaya saing harus menjadi perhatian kita semua tanpa kecuali untuk menjadi sepenuhnya Indonesia. Posisi NU yang umatnya lebih dari Separuh Rakyat Indonesia sangat dibutuhkan sebagai akselerasi dalam mempertahankan Peradaban dan integritas Bangsa Indonesia agar terjaga dari Disintegrasi.
Penulis dan dokumentasi: Aidil, Iqbal, dan Sapta.
Discussion about this post