DETAIL.ID, Sumatra Barat – Serikat Petani Indonesia (SPI), Gerakan Mahasiswa Petani Indonesia (Gema Petani), dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) melakukan unjuk rasa pada Senin 27 Desember 2021 di kantor Bupati Pasaman Barat.
Aksi yang dilakukan Gema Petani, bersama dengan SPI, dan GMNI menuntut penyelesaian konflik agraria. Progress penyelesaian konflik agraria oleh Bupati Pasaman barat yang dalam hal ini selaku ketua Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Kabupaten Pasaman Barat dinilai masih belum jelas. Mengingat, jumlah konflik agraria sudah cukup banyak.
Rio R.K Sikumbang, Sekretaris DPC SPI Pasaman barat menyebut, konflik agraria meningkat sejak tahun 1990.
“Konflik agraria di basis SPI sebanyak 30 kasus dengan melibatkan 8.002 KK Dengan total luas tanah 22.437 Ha, dalam hal ini Diperlukan peran aktif pemkab Pasaman Barat dalam mempertahankan eksistensi masyarakat adat dan ikut terlibat dalam upaya penyelesaian konflik agraria ini, sebanyak 73.735 KK Pasaman Barat sebagai Warga Miskin (sumbarnews.id) dengan total penduduk 436.298 jiwa tentu ini merupakan angka yang mengerikan,” jelasnya.
Rio meyebut bahwa secara sosio ekonomi, Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) bisa menjadi jawaban dalam menyelesaiakan konflik agraria. Sebab, program TORA yang ditawarkan oleh SPI merupakan salah satu wujud upaya mensejahterakan petani. Kemudian, diperlukan dukungan atas teknologi terapan guna meningkatkan added value komoditi yang dimiliki petani.
Secara sosio politik, rakyat dan pemerintah mesti dalam satu kesatuan guna membangun kedaulatan nagari menuju kedaulatan negara, Menerbitkan SK bupati tentang kedaulatan pangan untuk kedaulatan Negara. “Diperlukan kebijakan dan programatik nyata membangun kesadaran warga kabupaten sebagai warga yang berdaulat dan mandiri,” sebutnya.
Sementara itu, Yoggy E. Sikumbang, Presidium Nasional DPP GEMA PETANI menyebut, belum adanya kebijakan agraria yang mumpuni juga berdampak pada situasi konflik agraria di Indonesia.
“Pada dasarnya, belum diketahui pasti berapa banyak jumlah konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Beberapa kementerian ataupun lembaga negara juga memiliki data yang berbeda-beda. Misalnya Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia, yang menyebutkan terdapat 196 kasus konflik agraria yang ditangani sejak tahun 2018 sampai dengan April 2019 yang tersebar di 33 Provinsi dengan luasan areal 2.713.369 hektar. Sementara Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria (TPPKA) KSP Republik Indonesia, yang menyebutkan setidaknya terdapat 666 kasus aduan mengenai konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Kendati berbeda, kedua data tersebut secara garis besar masih menunjukkan bahwa besarnya jumlah konflik agraria masih menjadi momok di Indonesia,” ujarnya
Yoggy menambahkan, surat Keputusan Kepala Staf Kepresidenan No. 1B/T tahun 2021 mengenai Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Reforma Agraria 2021 tanggal 29 Januari 2021, yang digadang-gadang akan mampu menyelesaikan permasalahan konflik agraria di Indonesia perlu diketahui bersama. Pasaman Barat merupakan kabupaten dengan konflik agraria terbanyak di Provinsi Sumatera Barat dengan dibuktikan masuk nya 4 Basis SPI di Pasaman Barat ke dalam usulan prioritas penyelesaian konflik agraria yang harus di selesaikan dalam tahun ini,” kata Yoggy.
Pandu Putra Utama, Sekjen DPD GMNI Sumbar menngatakan, pandemi mengajarkan keterkaitan antara sistem lingkungan dan kesehatan sistem pangan. Tapi pandemi juga menyoroti kelemahan sistem pangan di Indonesia. Penanganan masalah ketahanan pangan semestinya tidak hanya berfokus pada dimensi ketersediaan pangan
“Sejumlah contoh kegagalan Food Estate adalah pada era Soeharto, yakni Program Food Estate PLG, (Kalteng 1996) dan pada era SBY, yakni Program Food Estate Bulungan, Kalimantan Timur (2011), Program Merauke Integrated Food and Energy Estate, Papua (2011), dan Program Food Estate Ketapang, Kalimantan Barat (2013). Rencana Food Estate terbaru ini di Kecamatan Talamau, Pasaman Barat lantas menyisakan pertanyaan besar, apa asumsi yang melatarbelakangi keputusan Food Estate sebagai agenda ketahanan pangan dan Gizi di Pasaman Barat? Sementara menurut kami GMNI di Ranah Minang ini, Food Estate adalah cara Bertani yang tidak melibatkan petani itu sendiri dan tidak memikirkan nasib petani. Jika pilihan intervensi ini dinilai dapat meningkatkan Efisiensi melalui pertanian skala besar dan meningkatkan ketersediaan pangan dalam bentuk energi atau kalori, maka ketahanan pangan dan gizi adalah penjaminan yang lebih luas daripada sekedar efisiensi dan ketersediaan pangan, sebagaimana disebut UU NO.18/2012 tentang pangan,” ujar Pandu.
Pandu juga menyampaikan, GMNI juga mempertanyakan Proyek Strategis Nasional yang akan dibangun di Pasaman Barat. “Kami mendapatkan informasi akan dibangun Proyek Stategis Nasional (PSN) di Kabupaten Pasaman Barat yang luasnya mencapai 30.162 Ha, katanya.
Namun sangat disayangkan bahwa Bupati Pasaman Barat enggan menemui perwakilan pengunjuk rasa yang hendak menyampaikan aspirasinya. “Padahal, sebelumnya Gema Petani sudah mengirim surat audiensi. Tapi tidak digubris oleh Bupati,” ujar Yoggy E. Sikumbang.
Discussion about this post