Dari jauh, aku melihat seorang lelaki paruh baya berdiri mengapung. Sebut saja namanya Amir (nama samaran). Ia berdiri di atas kayu yang dirangkai dengan banyak drum bekas.
Ternyata, ia tidak berdiri di atas perahu rakitan, atau pun sejenisnya. Melainkan ia berdiri di atas keramba ikan.
Memanfaatkan air sungai Batanghari, Amir bersama 60 persen masyarakat Desa Pematang Jering memasang keramba untuk budidaya ikan. Mereka membesarkan ikan, menjual lalu memperoleh penghasilan.
Kala itu sedang mendung. Aku berjalan dari tepi sungai menaiki keramba ikan milik warga. Mendekat dan menghampirinya tanpa berniat mengganggu aktivitasnya.
Ternyata dia sangat terbuka. Tanpa bertanya siapa diriku, ia melemparkan senyuman seraya menyambut kedatanganku, “ikan nilanya lagi makan, Mas,” ujarnya.
Lelaki paruh baya ini menabur pakan ikan. Bagaikan gayung bersambut, ribuan ikan nila berebutan melahap santapan sore hari. “Melihat mereka (ikan nila) begini, hati saya senang dan pikiran tenang,” ujar Amir sambil tersenyum.
Usai kelar memberi makan ikan, ia lalu duduk didekatku. Ia mengambil sebatang rokok lalu mengisapnya. Kami pun lanjut berbincang- bincang.
Aku memperhatikan ekspresi bangga di wajahnya saat ia berkata, “Tempat ini jadi penyuplai ikan nila terbesar di Provinsi Jambi”. Tak berlebihan Amir menyampaikan itu. Setidaknya, desa ini mampu mengasilkan 15 ton ikan nila segar setiap hari.
Rasa salut tertanam di hatiku. Mereka mampu memanfaatkan sungai Batanghari sebagai lahan budidaya ikan dan meraup keuntungan. Aku heran, baru kali ini menjumpai pemandangan seperti ini.
Perbincangan kami berlanjut. Sama halnya dengan sektor lainnya, budidaya ikan ini pun tidak terlepas dari risiko kerugian.
Pengakuan Amir, hari ke hari tingkat kematian ikan semakin tinggi. Ekspresinya perlahan berubah sambil berkata, “sekarang, kalau kita tanam 6 ribu ekor benih ikan, paling panennya hanya 2 ribu”.
Sontak hal itu membuatku terkejut. Lantas aku bertanya lagi kepadanya, mengapa bisa seperti itu? Sekejap kami berdua terdiam. Tak lama, ia pun menyambut pertanyaanku. “Mungkin, kualitas air kita sudah menurun,” katanya pelan.
Secara kasat mata, memang air sungai berwarna kecokelatan dan semakin dangkal. Mungkin, akibat sedimentasi.
Menurutnya, maraknya pertambangan di hulu memberi pengaruh kepada kematian ikan. Ditambah lagi aktivitas pertanian yang menggunakan pestisida dan limbah beracun lainnya yang masuk dan bercampur dengan air sungai.
Aku menyimak dan menatapnya bercerita. Satu pernyataan yang membuatku kagum akan kebesaran hatinya. Ia berkata “tapi, ya mereka juga cari makan, Mas. Gak bisa kita salahkan juga”.
Amir. Seorang pembudidaya ikan dipinggiran sungai Batanghari tepatnya di Desa Pematang Jering, Kecamatan Jambi Luar Kota, Kabupaten Muarojambi. Menurutku, ia adalah satu dari sekian banyak orang yang menerima kerugian akibat kondisi sungai Batanghari yang perlahan memburuk.
“Bapak ini baru satu contoh, pasti masih banyak orang yang mendapat manfaat akan keberadaan sungai Batanghari,” gumamku dalam hati. Sudah sepantasnya menjaga dan melestarikan sungai Batanghari menjadi tugas semua orang, terkhusus masyarakat yang bermukim di Jambi.
Tulisan ini memuat informasi kepada semua pemangku kepentingan agar serius dan memberi hati akan kelestarian sungai Batanghari. Bila perlu, sanksi tegas pihak- pihak yang dengan sengaja mencemari sungai Batanghari.
Cerita dengan seorang pembudidaya ikan ini, mengingatkanku dengan syair lagu yang sering kami nyanyikan sewaktu duduk di bangku kuliah. Satu lagu daerah Jambi yang penuh dengan makna.
“Batanghari.., oh Batanghari.., kaulah kebanggaan dari negeri Jambi”.
Salam.
Discussion about this post