OPINI
Politik Brutal Ala Jokowi

Harus dijelaskan terlebih dahulu bahwa tulisan ini tidak lahir dari pikiran seorang intelektual. Dan jauh, jauh sekali dari semacam buah pikiran kaum bangsawan di dunia pikiran. Itu jika menjadi intelektual harus menafikan aspek emosional. Itu jika menjadi intelektual berarti semata-mata menggunakan rasio. Memandang persoalan dengan dingin tanpa rasa benci tanpa caci maki. Melihat apa yang terjadi dengan ketajaman akal dan jauh dari pelibatan perasaan.
Harus diterangkan pula bahwa tulisan ini tidak bisa dipertanggungjawabkan di hadapan sidang ilmiah. Akan tetapi, tulisan ini berani mengangkat muka di hadapan sidang rasa keadilan. Yang akhir-akhir ini tercoreng, mungkin sengaja dicoreng, atau barangkali bagian dari usaha yang (menurut KMP dan pendukungnya) sistematis dan masif dalam membawa negara ini ke jurang kenistaan.
Jokowi. Nama ini pernah menjadi harapan. Menjadi simbol kesungguhan dari negeri yang sedang berusaha bangkit. Jokowi ibarat udara segar. Aku sendiri bahkan sempat mempercayainya, menilainya berbeda dari pemimpin kebanyakan yang hanya mementingkan pencitraan. Seorang kawan—jurnalis politik—pernah menceritakan bagaimana keseriusan Jokowi dalam bekerja.
Waktu ia masih menjadi Gubernur di Jakarta, ia sampai dini hari memantau pergerakan air di sungai Ciliwung. Ia tidak disertai pengawal atau embel-embel kekuasaan macam pejabat biasanya. Ia hanya bersama sopir yang mungkin merangkap sebagai asisten pribadinya. Seorang wartawan yang mengikuti ke mana pun ia pergi, bahkan disuruh pulang. Si wartawan menolak karena takut dimarahi atasannya.
Dan Jokowi menelepon atasan si wartawan, hanya untuk meminta izin agar ia memperbolehkan bawahannya pulang. Itu Jokowi. Aku pikir dia memiliki kepribadian yang luar biasa. Aku pikir, di zaman sekarang ini, sulit, amat sulit—jika tidak dikatakan mustahil—menemukan pejabat publik seperti dia. Jokowi yang tidak suka mendapat upacara penyambutan, Jokowi yang tidak suka dilayani, hanya mau melayani. Dan semua itu dilakukan dengan tulus (tampaknya begitu). Ia tidak mengundang wartawan saat ia melakukan infeksi lapangan. Bahkan asisten pribadinya tidak tahu apa yang akan dilakukan Jokowi hari ini. Dia hanya masuk ke mobil, berkata pada sopir, “Ayo kita tinjau pasar,” misalnya begitu. Ia datang tanpa iring-iringan. Tanpa kegaduhan pengawal motor. Jokowi hanya datang.
Hal inilah yang membuatku menaruh harapan besar pada Jokowi. Dan bukan hanya aku, tapi juga banyak orang lain–dari banyak kalangan yang sama-sama ingin perubahan–percaya bahwa Jokowi adalah solusi. Jokowi berhasil memberi harapan pada orang-orang yang memiliki tradisi golput. Seorang kawan yang sinis pada politik, yang malas berpanas-panas, pemalas nomor wahid yang lebih baik menahan lapar menunggu tukang nasi goreng lewat daripada pergi ke warteg, mau menempuh perjalanan Depok-Sukabumi hanya untuk memilih Jokowi. Dari forum-forum marxis, aku tahu bahwa banyak penganut marxisme yang mengikuti Pemilu—padahal bagi kaum marxis, pemilu adalah perangkat kaum borjuis untuk mengeruk dan menguasai sumber dan alat produksi.
Karena itulah bagi kaum Marxis hukum pemilu adalah haram. Dan tidak hanya memilih, kaum marxis itu juga bahkan banyak yang menjadi relawan pemenangan Jokowi. Lelaki asal Solo ini berhasil menginspirasi (atau mungkin menipu) banyak orang dari berbagai kalangan untuk bergerak dan mewujudkan perubahan. Indonesia seperti disetrum. Kembali digelorakan politik. Para saksi sejarah masa revolusi, mungkin akan terkenang masa ideologi di zaman Soekarno, mengingat gegap gempita pemilu 2014 yang luar biasa. Gegap gempita itu, karena Jokowi. Antusiasme pemilih meningkat pesat karena orang ini. Entah untuk mendukungnya, atau untuk mengadang jalannya.
Aku ingat tulisan Cak Nun tentang Jokowi di Kompas. Cak Nun melihat fenomena Jokowi sebagai sosok yang mampu membangkitkan kerinduan massal atas keterikatan pada yang purba, yang asal, dan jauh dari kesan modern. Seperti kerinduan manusia untuk kembali kepada rahim ibunya.
Di sana manusia seperti menemukan tempat aman, tempat yang jauh dari kegaduhan dan hingar bingar segala pencitraan politisi mainstream. Jokowi berhasil membangkitkan hasrat itu, dengan gayanya yang sederhana, dengan wajahnya yang seperti kebanyakan rakyat Indonesia, dengan gayanya yang spontan dan jauh dari kesan setingan penyusun strategi kampanye. Jokowi, tak ubahnya Obama yang dengan kharismanya berhasil menyedot simpati rakyat Amerika.
Aku teringat celotehan Sarah Palin ketika bersanding dengan Mc Cain melawan Obama. Dia melihat kerumunan pendukung Obama. Dia merasakan harapan besar kerumunan itu pada Obama. Lalu Palin berkata pada tim suksesnya, “Aku kira kita tidak sedang melawan Nabi.” Dan begitu pun yang mungkin dialami Prabowo sekiranya ada catatan tentang itu. Dia barangkali akan mengatakan hal yang sama terhadap Jokowi lawannya.
Kedatangan Jokowi memang pas dengan keinginan rakyat Indonesia yang sudah jenuh dengan sikap kekanak-kanakan elit politik. Jokowi ibarat fajar yang muncul setelah malam panjang yang gelap. Mungkin karena fajar itulah, ia tampak begitu indah. Tapi karena fajar itu juga ia hanya sebentar. Sebab baru dua minggu menjabat sebagai presiden, Jokowi sudah menunjukkan sinyal ganjil dari langkah-langkah kontroversial yang kemudian kerap ia lakukan.
Pertama, ia membuat Kartu Indonesia Sehat secara tidak transparan. Program yang ia tawarkan saat kampanye, rupanya ingin ia wujudkan secara cepat, tapi tidak mengikuti prosedur kebijakan anggaran yang berlaku di Indonesia. Kartu sehat ia buat tanpa ba-bi-bu. Seperti lahir dari tangan pesulap, kartu itu muncul begitu saja. Muncul hanya dua minggu setelah ia dilantik.
Banyak yang bertanya, dari mana dana pembuatan kartu itu? Ada yang mengatakan dari CSR perusahaan, ada yang mengatakan dari perubahan anggaran 2014. Tapi jika dari CSR perusahaan, apakah itu dibenarkan? Jika dari APBN perubahan, apakah sudah sesuai prosedur dan tidak termasuk penyelewengan? Banyak pemimpin-pemimpin daerah yang dijadikan tersangka korupsi karena anggaran belanja tidak digunakan sesuai APBD yang sudah disepakati dengan DPRD, bahkan dengan kenyataan bahwa uang itu tidak diselewengkan untuk memenuhi kepentingan pribadi dan golongan.
Argumen-argumen bermunculan untuk menutupi kejanggalan itu. Katanya, perubahan nama dari BPJS ke KIS adalah wilayah teknis. Dan itu dibolehkan sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi. Hanya saja ada satu pertanyaan yang gagal dijawab oleh Jokowi dan antek-anteknya. Kapan tender kartu itu dilangsungkan? Bukankah tender harus diumumkan minimal selama 30 hari setelah proyek diputuskan? Bukankah uang Negara yang banyak itu, yang digunakan untuk proyek itu, harus melalui tender? Agar pengawasan dan permintaan tanggung jawabnya jelas? Tidak jelas memang berapa uang yang digunakan untuk pengadaan kartu itu. Tapi mengingat luasnya cakupan kartu, patut diduga bahwa bukan lagi Miliar, tapi Triliun. Bayangkan, uang sebanyak itu digunakan dengan gegabah! Jika bukan Presiden yang punya hajat, KPK mungkin langsung sikat.
Blunder kedua adalah Jokowi menaikkan BBM tanpa peduli dengan harga minyak dunia yang sedang turun. Alasannya, pengalihan subsidi. Subsidi untuk minyak terlalu besar dan karena itu sayang jika uang 211,9 triliun itu habis menjadi asap. Mungkin argumen ini bisa diterima. Sehingga menurutku, titik tolak pikiran kritis bukan kenapa BBM naik melainkan kepada pengalihannya. Apa peningkatan di bidang kesehatan, apa peningkatan di bidang pendidikan, di bidang pertanian, dan terutama infrastruktur? Jika poin-poin ini nyata perubahannya, it’s oke. Tapi jika tidak, lagi-lagi Jokowi sedang membuat tiang gantungannya sendiri.
Banyak analisis terkait kenaikan BBM ini (meskipun akhirnya turun lagi). Bahwa dengan menarik subsidi BBM, pemerintah sedang membiarkan Pertamina tersungkur di rumah sendiri di hadapan pengusaha minyak dunia. Pertamina bertarung dengan Shell, Petronas, dan sebagainya. Padahal untuk pertarungan itu BUMN ini belum punya kemampuan cukup. Minyak yang dia jual, masih di bawah standar.
Oleh karena itu, saat harga yang ditetapkan pemerintah tidak jauh-jauh amat dengan produk luar, sudah barang tentu masyarakat lebih memilih barang yang lebih bagus meski uang yang dikeluarkan sedikit lebih banyak. Dan terutama, penaikan BBM ini ibarat membuka terowongan besar, sebesar-besarnya, untuk pengusaha minyak global ikut berjualan di Indonesia. Selama ini mereka tidak bisa (atau sulit) masuk karena minyak Pertamina disubsidi.
Biar produk mereka lebih bagus, tapi jika Pertamina menjual bensin dengan harga yang jauh lebih murah, pengusaha minyak global ini akan kalah juga. Dan puncak dari kegaduhan ini adalah Pertamina kalah saing, bangkrut, lalu dijual ke pengusaha asing. Skenario ini bukan tanpa dasar sejarah. Di masa PDIP berkuasa (Presiden Megawati) berkuasa, Indosat dijual. Dan Jokowi, meski di masa kampanye berhasil meneguhkan diri tidak disetir Mega atau partai pendukungnya, saat ia sudah menjadi presiden, sinyal itu bermunculan tanpa bisa disumbat.
Yang paling kuingat dan kuharapkan dari salah satu program Jokowi untuk membuat “Indonesia Hebat” adalah pemilihan pejabat publik yang dilakukan melalui lelang. Program ini penting, mengingat di sanalah kunci untuk membuat pemerintahan yang sehat. Di masa lalu, pejabat-pejabat ini dibagi-bagi ke partai pendukung, atau orang dekat lingkaran kekuasaan. Jokowi datang dan memprogramkan itu. Tak berlebihan jika kupikir Jokowi adalah si penentang arus, Jokowi adalah jeda yang menghentikan tradisi politik yang tidak beretika.
Tapi belum ada setengah tahun memprogramkan itu. Jokowi mengangkat Prasetyo sebagai Jaksa Agung (20 November 2014). Orang yang tidak memiliki prestasi yang menonjol di kejaksaan. Memang pernah menjadi Jaksa Muda Pidana Umum, tapi biasa-biasa aja. Dan yang lebih menyakiti perasaan, Prasetyo adalah politisi Nasdem, salah satu partai yang menyokong Jokowi habis-habisan lewat media nasional yang dimiliki Ketua Umum Nasdem Surya Paloh. Sulit untuk tidak menduga bahwa pemilihan Jaksa Agung ini adalah titipan. Karena itu juga tak bisa dibantah kenyataan bahwa Jokowi adalah pemimpin biasa, yang disetir, dikendalikan dan boneka.
Tentu saja, sistem demokrasi mau tidak mau memang begitu. “bagi bagi kue” adalah wajar sebab menjadi akibat dari kelaziman lobi-lobi politik yang tidak bisa tidak harus dilakukan. Akan tetapi, di masa lalu, bagi-bagi jatah ini diberikan diam-diam, elegan, dan tidak begitu menyakiti perasaan. Bahkan SBY, yang dinilai gagal dan buruk dalam memerintah, sangat hati-hati dan selektif dalam memilih Jaksa Agung. Di era Jokowi, bagi-bagi kekuasaan itu terkesan brutal dan terang-terangan. Dan parahnya itu dilakukan setelah ia, dengan segala cara, meyakinkan relawan dan simpatisan untuk “tidak akan melakukan bagi-bagi kekuasaan”. Menurutnya, ekses sistem demokrasi itu tidak etis, harus diubah sebab akan memenjara siapa pun yang menduduki posisi tertinggi di pemerintahan. Dan yang paling fatal, bagi-bagi kue itu akan memunculkan berbagai kebijakan yang mengabdi pada partai dan golongan, dan tidak berpihak pada rakyat.
Masalah Jaksa Agung belum reda, tapi kebrutalan seolah mesti jalan terus! Kali ini tentang Kapolri. Proses pemilihan Kapolri yang dilakukan Jokowi tidak transparan dan kuat terkesan pesanan Mega, bukan atas dasar prestasi. Bukan atas dasar integritas si calon. Budi Gunawan, meski Jokowi sudah mendapat peringatan dari PPATK sebab memiliki potensi korup, tetap dicalonkan oleh Jokowi! Orang yang konon berupaya mewujudkan good governanceitu.
Alhasil Jokowi ditampar—mungkin diludahi—oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Sehari setelah nama BG diberikan ke DPR untuk dilakukan fit and proper test, calon tunggal Kapolri usungan Jokowi itu dijadikan tersangka kasus suap oleh KPK. Dan KPK, sekali menjadikan seseorang sebagai tersangka, tidak akan melepas orang itu. Artinya, status itu diberikan kepada siapa pun, selalu dan selalu, setelah KPK menemukan dua bukti kuat. KPK tidak sembarangan. Karena itulah, orang yang menjadi tersangka, seolah sudah pasti akan menjadi terdakwa dan terpidana. Penetapan status tersangka itu mungkin tidak pada momen yang tepat. Mungkin terkesan buru-buru dan kejar tayang hingga diasumsikan memiliki tujuan politis. Akan tetapi, apa yang publik tahu, apa yang publik rasakan terlanjur diketahui dan dirasakan. Rasa kecewa itu bukan alang kepalang. Dan politik selamanya tentang persepsi publik. Jokowi menjadi presiden sekarang pun sejatinya karena persepsi itu.
Saat Jokowi menaikkan BBM ketika harga minyak dunia mengalami penurunan, aku masih memiliki ruang prasangka baik. Mungkin dia melakukan itu benar-benar untuk kemajuan negeri; untuk pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Tapi saat pemilihan orang-orang nomor 1 di kejaksaan dan kepolisian begitu brutal, aku tidak punya lagi ruang itu. Ini jelas tidak benar. Aku telah mendukung dan berharap pada orang yang salah!
*) Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Mataram
OPINI
Geopark Merangin: Dari Simbolisme ke Realitas Nyata Pembangunan Daerah
Oleh: Dr. Agus, S.Sos., M. Hum., CIIQA

General Manager UNESCO Global Geopark Merangin Jambi
Dosen Fakultas Hukum Universitas Unja
Tulisan di Sumateradaily.com yang menyoroti Merangin Jambi UNESCO Global Geopark (MJUGGp) sebagai sekadar proyek simbolisme yang mengabaikan realitas lokal, tampaknya hanya membaca satu sisi kacamata sempit dan mengabaikan fakta-fakta di lapangan. Alih-alih menilai geopark sebagai proyek elitis, realitasnya menunjukkan bahwa geopark justru telah menjadi katalis pembangunan daerah, pemberdayaan masyarakat, serta diplomasi kebudayaan Indonesia di tingkat global.
Pertama, status UNESCO Global Geopark (UGGp) bukan sekadar predikat simbolik, melainkan hasil evaluasi ketat dari lembaga internasional yang mengedepankan prinsip sustainable development mengintegrasikan konservasi, edukasi, dan pemberdayaan ekonomi lokal. Kinerja geopark bukanlah kenerja sembilan atau lebih tim Badan pengelola, tetapi kinerja semua stakeholder, mulai dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Jambi, Pemerintah Kabupaten, Kelompok Masyarakat adat, penggiat wisata, NGO, Perusahaan dan semua pihak terkait lainnya. Menurut UNESCO (2023), geopark adalah living laboratories yang menghubungkan warisan geologi dengan pembangunan berkelanjutan masyarakat. Dengan pengakuan global ini, Merangin kini sejajar dengan geopark lain di dunia seperti Langkawi (Malaysia) dan Jeju (Korea Selatan), Lesvos (Yunani) dan UGGp lainnya, dalam pengelolaannya mencakup 11 Tujuan Pembangunan berkelanjutan, Pariwisata merupakan satu subsector yang harus terus di dorong pengembangannya.
Kedua, argumen bahwa masyarakat lokal diabaikan jelas menyalahi fakta. Pemerintah Kabupaten Merangin melalui Dinas Pariwisata dan stakeholder terkait justru telah melibatkan komunitas lokal dalam berbagai program. Jika ditinjau dari sisi pariwisata, Data dari Dinas Pariwisata Merangin (2023) mencatat setidaknya 15 kelompok sadar wisata (pokdarwis) di sekitar kawasan geopark yang aktif mengelola homestay, kerajinan tangan, hingga jasa pemandu wisata berbasis kearifan lokal. Bahkan, menurut laporan Badan Pengelola MJUGGp (2023), terdapat peningkatan pendapatan rata-rata 20–25% bagi pelaku UMKM di sekitar kawasan geopark sejak status UGGp ditetapkan.
Ketiga, jika dikatakan geopark hanya berhenti pada simbolisme, bagaimana menjelaskan fakta bahwa kawasan ini telah menjadi instrumen diplomasi budaya? Pada sesi General Conference UNESCO di Marokko (2023), kinerja Masyarakat adat di Merangin Jambi Geopark mendapat penghargaan tertinggi “The First Bast Practice Global Geopark Network kategori Mikro Hydro Plant” dipresentasikan sebagai contoh best practice terbaik dunia dalam pengelolaan warisan geologi, bio diversity dan cultural diversity secara nyata yang turun temurun, hal ini telah memperkuat citra Indonesia di panggung internasional. simbolisme semata tentu tidak cukup untuk bisa lolos verifikasi dan diapresiasi dunia ini.
Keempat, narasi bahwa ada realitas lokal yang terabaikan patut ditinjau ulang. Faktanya, geopark justru menjadi instrumen untuk mengatasi ancaman kerusakan lingkungan seperti penambangan emas tanpa izin (PETI) dan deforestasi. Sebagai contoh nyata penanggulangan PETI pada segmen inti Geopark, Badan Pengelola, Polres Merangin dan Pemerintah Kabupaten Merangin telah berhasil menghentikan akivitas PETI dengan cara persuasive yang elegan, begitu juga untuk menahan laju deforetasi dikawasan khususnya di serampas, Masyarakat adat berhasil menahan laju perambahan diwilayah Masyarakat adat serampas. Praktek baik ini terus akan dilakukan dengan penguatan kalborasi yang kuat dengan semua stakeholder.
Dengan kalaborasi multy pihak saling menguatkan geopark tidak mengabaikan realitas, melainkan menghadirkan solusi berbasis konservasi.
Oleh karena itu, menyederhanakan geopark sebagai proyek simbolisme sama artinya dengan menutup mata dari capaian nyata yang telah dihasilkan. Memang, pekerjaan rumah masih ada, termasuk dalam hal infrastruktur penunjang dan distribusi manfaat ekonomi yang lebih merata. Namun, arah kebijakan jelas menunjukkan bahwa Merangin Jambi UGGp bukan proyek elitis, melainkan strategi pembangunan daerah yang berakar pada konservasi, edukasi, partisipasi masyarakat, dan pengakuan dunia.
Geopark Merangin adalah rumah bagi semua dan semua orang, kelompok bisa berkontribusi dalam pengelolaannya baik itu dari fungsi konservasi, edukasi dan pemberdayaan Masyarakat yang harus terus dikelola secara berkelanjutan. Menafikannya hanya sebagai simbol, justru merupakan reduksi berlebihan yang mengaburkan realitas nyata dan mendiskriditkan praktek baik para penggiat, Masyarakat adat dan dan kinerja Masyarakat di tapak yang terus berupaya memuliakan bumi untuk secara bertahap meningkatkan kesejahteraan.
Catatan Sumber Data:
* UNESCO. (2023). UNESCO Global Geoparks.
* Dinas Pariwisata Kabupaten Merangin. (2023). Laporan Tahunan.
* Badan Pengelola MJUGGp. (2023). *Monitoring dan Evaluasi.
* Kementerian ESDM. (2022). Laporan Aktivitas PETI di Provinsi Jambi.

Kabupaten Merangin Merupakan Salah Satu JANTUNG WISATA JAMBI, sebuah kawasan yang kini mulai berdetak semakin kencang seiring tumbuhnya perhatian wisatawan domestik maupun mancanegara. Di sinilah keindahan alam berpadu dengan sejarah geologi dunia, menghadirkan sebuah destinasi yang tidak hanya mempesona mata, tetapi juga memperkaya jiwa. Pesona Merangin dengan Geopark yang telah diakui UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) adalah kebanggaan sekaligus harapan besar bagi masyarakat Jambi. Setiap tebing, sungai, dan batuan di Merangin bukan sekadar bentang alam, melainkan catatan sejarah bumi yang usianya mencapai ratusan juta tahun. Di sinilah wisatawan bisa menemukan fosil flora berusia lebih dari 300 juta tahun, sebuah kekayaan geologi yang tidak dimiliki banyak daerah di dunia.
Kehadiran Geopark Merangin membawa titik terang baru bagi wajah pariwisata Jambi. Jika dahulu Jambi lebih dikenal sebagai daerah penghasil komoditas perkebunan dan energi, maka kini wajahnya mulai bergeser ke arah destinasi wisata yang bernilai tinggi. Panorama sungai Batang Merangin yang menantang untuk dijelajahi, air terjun yang tersembunyi di balik perbukitan hijau, serta desa-desa wisata yang mempertahankan tradisi lokal adalah bukti bahwa Merangin menyimpan harta yang luar biasa. Para pencinta petualangan bisa merasakan derasnya arung jeram, sementara para penikmat ketenangan dapat menemukan harmoni di tengah alam yang masih terjaga.
Peningkatan minat wisatawan ke Provinsi Jambi dalam beberapa tahun terakhir adalah buah dari promosi yang terus digencarkan, baik melalui festival daerah, pameran pariwisata, maupun kehadiran media sosial yang menampilkan potret keindahan Merangin secara visual. Wisatawan dari luar Sumatra semakin banyak yang menjadikan Jambi sebagai pilihan liburan, bukan hanya untuk rekreasi keluarga, tetapi juga untuk penelitian dan wisata edukasi. Bahkan turis mancanegara dengan ketertarikan khusus pada geopark dan keunikan geologi dunia kini mulai berdatangan. Hal ini tentu menjadi sinyal bahwa pariwisata Jambi perlahan memasuki panggung yang lebih luas, bersaing dengan destinasi lain di Indonesia. Tentu saja, geliat ini tidak mungkin berjalan tanpa dukungan berbagai pihak. Salah satu yang memainkan peranan penting adalah Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jambi. Melalui jaringan hotel dan restoran yang tersebar di berbagai wilayah, PHRI memastikan para wisatawan yang datang tidak hanya sekadar singgah, tetapi juga merasa nyaman dan ingin kembali. Hotel-hotel di Jambi semakin meningkatkan kualitas pelayanan, memperhatikan standar kebersihan, serta memadukan keramahan lokal dengan standar internasional. Restoran-restoran pun berlomba menghadirkan kuliner khas Jambi dengan sentuhan modern, sehingga setiap wisatawan bisa merasakan pengalaman kuliner yang berkesan. Tidak dapat dipungkiri, kuliner adalah bagian penting dari pariwisata, dan Jambi kaya dengan sajian khas seperti tempoyak, gulai terjun, dan kopi liberika yang mampu memikat lidah siapa saja.
Perkembangan pariwisata Merangin juga berdampak langsung terhadap perekonomian lokal, terutama bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. UMKM menjadi salah satu penopang utama dalam ekosistem wisata. Di sekitar Merangin, banyak masyarakat yang kini mengandalkan hidup dari penjualan kerajinan tangan, kuliner tradisional, hingga jasa transportasi dan pemandu wisata. Produk batik Jambi, anyaman bambu, serta kopi Merangin semakin dikenal luas berkat kehadiran wisatawan. Dengan promosi yang tepat, produk-produk UMKM ini tidak hanya laris di pasar lokal, tetapi juga berpeluang menembus pasar nasional bahkan internasional. Setiap wisatawan yang membeli suvenir atau mencicipi makanan tradisional berarti ikut serta dalam menghidupkan ekonomi rakyat.
Pemerintah Provinsi Jambi sendiri tidak tinggal diam. Melalui visi besar “Jambi Mantap 2025-2029: Berdaya Saing dan Berkelanjutan”, pemerintah menetapkan arah pembangunan pariwisata yang jelas. Geopark Merangin ditempatkan sebagai salah satu prioritas unggulan untuk didorong ke tingkat internasional. Prinsip berdaya saing berarti Jambi harus mampu menghadirkan layanan dan fasilitas yang setara bahkan lebih baik dibandingkan destinasi lain di Indonesia. Sementara prinsip berkelanjutan berarti pengembangan wisata tidak boleh merusak alam, melainkan harus menjaga kelestarian lingkungan agar generasi mendatang tetap dapat menikmatinya. Merangin menjadi contoh nyata bagaimana pariwisata bisa dikembangkan dengan tiga pilar utama : konservasi, edukasi, dan pemberdayaan ekonomi. Wisatawan yang datang bukan hanya menikmati keindahan pemandangan, tetapi juga belajar tentang geologi, kebudayaan lokal, dan pentingnya menjaga lingkungan. Di saat yang sama, masyarakat lokal mendapatkan manfaat ekonomi dengan tetap menjaga kearifan lokal yang menjadi identitas mereka. Dengan sinergi seperti ini, pariwisata Merangin tidak hanya sekadar industri hiburan, melainkan juga sebuah gerakan sosial yang memberi makna lebih dalam.
Sinergi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat adalah kunci keberhasilan ini. Pemerintah berperan sebagai regulator dan fasilitator yang menyediakan infrastruktur dan kebijakan. Swasta melalui PHRI dan investor mendukung pembangunan fasilitas penunjang. Masyarakat sendiri menjadi aktor utama yang menjaga dan mengelola destinasi wisata secara langsung. Contoh nyatanya terlihat pada desa wisata yang semakin banyak berkembang di Merangin. Masyarakat menyediakan homestay, paket wisata budaya, hingga sajian kuliner khas, sementara pemerintah memberi pendampingan dan pelatihan. Dengan cara ini, masyarakat bukan hanya penonton, melainkan pemilik sejati pariwisata di tanah mereka sendiri.
Harapan ke depan, Geopark Merangin dapat menjadi ikon pariwisata Jambi yang mendunia. Status sebagai UNESCO Global Geopark harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk memperluas jaringan promosi. Namun lebih dari itu, pengakuan dunia ini juga harus menjadi dorongan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan budaya lokal. Dengan promosi digital yang tepat, Merangin bisa lebih dikenal di kalangan generasi muda global yang gemar mencari destinasi unik. Dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia pariwisata, Merangin mampu memberi pelayanan setara dengan destinasi kelas dunia. Dengan dukungan UMKM, ekonomi masyarakat lokal terus tumbuh seiring meningkatnya kunjungan wisatawan.
Merangin sejatinya adalah jantung wisata Jambi, pusat denyut yang akan menghidupkan pariwisata di provinsi ini. Dari Merangin, geliat wisata bisa menjalar ke daerah lain di Jambi seperti Kerinci dengan Danau Gunung Tujuhnya, Tanjung Jabung dengan wisata mangrove, atau Batanghari dengan sejarahnya. Merangin menjadi pintu gerbang, titik terang yang akan menyalakan cahaya bagi masa depan pariwisata Jambi. Setiap wisatawan yang pulang dari Merangin akan membawa cerita. Cerita tentang sungai deras yang menguji adrenalin, tentang fosil kuno yang mengajarkan sejarah bumi, tentang keramahan masyarakat desa yang menawarkan secangkir kopi hangat, tentang senyum anak-anak yang bangga dengan budaya mereka. Cerita-cerita itu akan menumbuhkan rasa ingin tahu, dan rasa ingin tahu akan mengundang kunjungan baru. Inilah lingkaran kebaikan dari pariwisata yang jika terus dijaga akan menghasilkan manfaat jangka panjang bagi semua pihak.
PENULIS : Titik Terang Geopark Merangin Bukan Sekadar Cahaya Sesaat, Melainkan Cahaya Yang Bisa Menerangi Jalan Jambi Menuju Masa Depan Pariwisata Yang Lebih Cerah. Dengan KOMITMEN Pada Visi Jambi Mantap Berdaya Saing Dan Berkelanjutan, Dengan Dukungan PHRI, Dengan Tumbuhnya UMKM, Dan Dengan Peran Aktif Masyarakat, Geopark Merangin Akan Terus Berdetak Sebagai Jantung Pariwisata Jambi.
OPINI
Paradoks Masa Depan Daerah Penghasil Migas: Politik Fiskal, Data dan DBH
Oleh: Yulfi Alfikri Noer S. IP., M. AP

Akademisi UIN STS Jambi
Provinsi Jambi adalah potret nyata daerah kaya sumber daya yang terjebak dalam paradoks struktural. Minyak dan gas bumi, batu bara, serta crude palm oil (CPO) mengalir deras, menopang energi nasional dan memberi kontribusi besar pada penerimaan negara. Namun, aliran manfaat bagi daerah penghasil tidak sebanding dengan kontribusinya. Dana Bagi Hasil (DBH) migas berfluktuasi, akses terhadap data lifting migas nyaris tertutup, dan formula pembagiannya didesain sepenuhnya di pusat. Ketiganya membentuk simpul persoalan yang bukan sekadar teknis, tetapi juga politis menentukan siapa yang berkuasa atas angka, dan pada akhirnya, siapa yang berkuasa atas fiskal daerah. Kondisi serupa juga dialami oleh daerah penghasil energi terbarukan yang menuntut pembagian pendapatan negara secara lebih adil, sebagaimana diberitakan (https://kompas.id/).
Untuk keluar dari jebakan ini, Jambi membutuhkan terobosan yang menggabungkan transparansi, keadilan, dan kolaborasi. Dialog konstruktif antara pemerintah daerah, legislatif, dan pemerintah pusat menjadi kunci, bukan hanya untuk membuka akses data lifting migas dan meninjau ulang formula DBH, tetapi juga untuk memastikan bahwa kontribusi besar Jambi pada energi nasional berbanding lurus dengan kemajuan dan kemakmuran masyarakatnya. Momentum terpilihnya Gubernur Jambi, Al Haris, sebagai Ketua Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan (ADPMET) periode 2025–2030 memberi ruang strategis untuk mengangkat isu ini dari sekadar keluhan daerah menjadi agenda nasional yang berpihak pada daerah penghasil.
Faktor Eksternal, Ketidakpastian Fiskal, dan Tantangan Jambi sebagai Daerah Penghasil Migas.
Perekonomian Jambi sangat bergantung pada sektor ekstraktif dan perkebunan. Fluktuasi harga CPO, batu bara, dan migas di pasar global langsung mempengaruhi pendapatan daerah melalui skema DBH. Ketika harga komoditas tersebut menurun, DBH yang ditransfer pemerintah pusat ikut tergerus, membatasi kemampuan fiskal daerah untuk membiayai program prioritas. Khusus sektor migas, tantangan semakin kompleks karena Jambi selama ini hanya menerima royalti tanpa memiliki akses penuh terhadap informasi riil mengenai volume lifting, sehingga proyeksi fiskal daerah kerap berbasis asumsi yang tidak pasti.
Berdasarkan data resmi, Dana Bagi Hasil (DBH) Migas yang diterima Provinsi Jambi menunjukkan fluktuasi yang cukup signifikan dalam periode 2019–2023. Fluktuasi DBH Migas Provinsi Jambi dalam periode 2019–2023 mencerminkan ketergantungan fiskal pada harga komoditas global dan formula pembagian pusat. Pada 2019, total DBH Migas mencapai Rp 1,232 triliun, dengan penerimaan Pemprov sebesar Rp 236,83 miliar ((https://jambiindependent.disway.id)). Tahun 2020 turun menjadi total Rp477,2 miliar, dengan Pemprov menerima Rp95,9 miliar ((https://aksesjambi.com). Tren penurunan berlanjut pada 2021 menjadi total Rp 451,2 miliar dan Pemprov Rp 92 miliar ((https://rri.co.id), membaik pada 2022 menjadi total Rp605 miliar dengan Pemprov Rp 154,2 miliar (https://aksesjambi.com), namun pada 2023 kembali turun menjadi Rp90,5 miliar (https://aksesjambi.com). Fluktuasi ini memperlihatkan rapuhnya ketahanan fiskal Jambi, sejalan dengan defisit APBD tiga tahun berturut-turut.
Fluktuasi ini mencerminkan rapuhnya ketahanan fiskal Jambi yang sangat bergantung pada harga migas global dan formula DBH dari pemerintah pusat yang belum transparan. Kondisi ini sejalan dengan latar belakang masalah defisit APBD Provinsi Jambi yang sudah berlangsung selama tiga tahun berturut-turut, sebagaimana tercermin dalam data keuangan daerah.
Kerangka Hukum Pengelolaan APBD dan Dana Bagi Hasil di Provinsi Jambi.
Pelaksanaan Dana Bagi Hasil (DBH) dan pengelolaan APBD Provinsi Jambi berada dalam koridor hukum yang ketat, berlandaskan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang menekankan akuntabilitas, transparansi, dan efisiensi. Khusus DBH Migas, hak daerah penghasil diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang HKPD, yang menetapkan alokasi lebih proporsional sesuai jenis penerimaan dan kebutuhan fiskal serta memperkuat desentralisasi fiskal. Penerimaan Provinsi Jambi sangat bergantung pada formula pembagian pemerintah pusat dan data lifting migas dari Kementerian ESDM, keterbatasan akses data ini dapat mempengaruhi perencanaan fiskal dan meningkatkan risiko defisit APBD.
Pengelolaan keuangan daerah juga mengacu pada PP Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, sementara Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 dan Permendagri Nomor 84 Tahun 2022 memberikan panduan teknis mulai dari perencanaan hingga pertanggungjawaban keuangan.
Selain DBH Migas, DBH Kelapa Sawit diatur oleh UU No. 1 Tahun 2022, dengan alokasi minimal 4% dari pungutan ekspor: 20% untuk provinsi, 60% kabupaten/kota penghasil, dan 20% kabupaten/kota berbatasan langsung (PP No. 38/2023). Formula alokasi umumnya memadukan 90% berdasarkan realisasi penerimaan dan kebutuhan fiskal serta 10% kinerja daerah (Seknas FITRA, 2024), mendorong pemerataan pembangunan dan penguatan kapasitas fiskal.
Seluruh kerangka hukum ini diperkuat di tingkat daerah melalui Perda APBD Provinsi Jambi dan Pergub Penjabaran APBD, yang mengatur perencanaan, penganggaran, pelaksanaan program, hingga evaluasi dan pengawasan. Dengan demikian, pengelolaan APBD, termasuk DBH Migas dan Kelapa Sawit, memiliki payung hukum lengkap, meski transparansi dan akurasi data lifting tetap menjadi tantangan utama.
Preseden Nasional: Kasus Meranti dan Relevansinya bagi Jambi
Kondisi yang dihadapi Jambi sejatinya bukanlah fenomena tunggal. Pada Desember 2022, Bupati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil, menyuarakan protes keras kepada pemerintah pusat karena Dana Bagi Hasil (DBH) migas yang diterima daerahnya tidak sebanding dengan peningkatan produksi minyak. Meski volume lifting meningkat, jumlah DBH yang masuk tetap stagnan. Protes ini dibawa langsung ke Menteri Dalam Negeri dan menjadi sorotan media nasional, menandakan potensi ketegangan fiskal antara daerah penghasil dan pemerintah pusat akibat formula pembagian yang dinilai tidak adil.
Bagi Jambi, kasus Meranti menjadi preseden penting untuk memperjuangkan transparansi data lifting sekaligus mendorong peninjauan ulang formula DBH. Akar persoalan terletak pada sistem hubungan keuangan pusat dan daerah yang belum sepenuhnya berpihak kepada daerah penghasil, khususnya migas dan pertambangan. Pola ini membuat potensi fiskal daerah penghasil menjadi terbatas, meskipun mereka berkontribusi besar terhadap pasokan energi dan pendapatan negara.
Momentum Strategis Kepemimpinan Al Haris di ADPMET
Dalam konteks ketidakpastian penerimaan Dana Bagi Hasil (DBH) migas dan terbatasnya akses daerah terhadap data lifting, terpilihnya Gubernur Jambi, Al Haris, sebagai Ketua Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan (ADPMET) periode 2025–2030 merupakan momentum strategis yang sarat potensi. ADPMET yang beranggotakan 89 daerah penghasil migas dibentuk sebagai wadah kolektif untuk memperjuangkan transparansi data lifting, reformasi formula DBH, dan kepentingan fiskal daerah penghasil secara bersama (https://adpmet.or.id/profile/sejarah). Kepemimpinan Al Haris di ADPMET membuka peluang konkret untuk:
1. Memperjuangkan keterbukaan data lifting di Kementerian ESDM, sehingga proyeksi pendapatan daerah lebih akurat dan terukur.
2. Mengusulkan reformasi formula DBH berbasis volume produksi riil, bukan semata-mata asumsi pusat, sehingga pembagian dana lebih adil.
3. Mempercepat implementasi Participating Interest (PI) 10% bagi BUMD Jambi, yang dapat meningkatkan kontribusi langsung migas terhadap PAD.
4. Menggalang solidaritas antar daerah penghasil untuk memperkuat posisi tawar bersama terhadap pemerintah pusat dalam negosiasi kebijakan fiskal.
Dengan memanfaatkan kerangka hukum yang telah ada, posisi ini dapat menjadi instrumen efektif bagi Jambi untuk memperkuat advokasi di tingkat nasional, meningkatkan akurasi proyeksi pendapatan, dan memastikan distribusi DBH yang lebih adil. Lebih jauh, langkah ini berpotensi memperkuat kemandirian fiskal daerah dan mengoptimalkan peran sektor migas sebagai penopang pembangunan berkelanjutan di Provinsi Jambi.
Arah Kebijakan: Menuju Ketahanan Fiskal dan Kemandirian Ekonomi
Reformasi DBH dan transparansi lifting adalah langkah awal. Keberlanjutan fiskal Jambi memerlukan strategi diversifikasi ekonomi, termasuk pengembangan industri hilir dan energi terbarukan. Dengan memanfaatkan jaringan ADPMET, Jambi berpotensi menjadi pelopor transisi energi yang berkeadilan dan mengurangi ketergantungan pada komoditas primer yang rawan fluktuasi harga.
Sejarah telah menunjukkan bahwa ketergantungan pada mekanisme pembagian DBH yang tertutup dan berpusat di pemerintah pusat membuat daerah penghasil migas, termasuk Jambi, selalu berada pada posisi lemah dalam menentukan nasib fiskalnya. Potensi energi yang melimpah tidak otomatis menjelma menjadi kemakmuran jika kendali informasi dan formula pembagian tetap dimonopoli pusat.
Kepemimpinan Al Haris di ADPMET membuka ruang langka untuk mengubah peta kekuatan ini. Dengan dukungan legislatif daerah dan jejaring 89 daerah penghasil migas, Jambi memiliki kesempatan strategis untuk memimpin agenda reformasi tata kelola migas nasional. Jika peluang ini dioptimalkan melalui negosiasi berbasis data, reformasi regulasi, dan solidaritas kolektif, bukan hanya Jambi yang akan merasakan manfaatnya, tetapi seluruh daerah penghasil migas di Indonesia. Hal ini akan memberi dampak besar bagi keakuratan perencanaan, keberlanjutan fiskal, dan kesejahteraan masyarakat. Namun, jika momentum ini terlewat, kita akan kembali pada siklus lama,yaitu daerah kaya sumber daya, tetapi miskin manfaat.