KEBERADAAN selfie dan narsisme memang sangat lekat dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Mulai dari anak usia dini hingga politisi. Selfie menjadi sarana pemenuhan sifat narsis manusia yang oleh Andrew P. Morisson dalam bukunya, “Shame: The Underside of Narcissism” (1989), disebut sebagai sifat yang ada dalam diri setiap manusia dan dibawa sejak lahir.
Bagi politisi dan pemangku kebijakan, selfie politik bisa menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada masyarakat, termasuk juga mensosialisasikan program, meningkatkan popularitas serta kemungkinan terburuk hanya sekadar menjadi sarana untuk pemenuhan hasrat narsisme. Maka, tidak heran kita melihat begitu banyak politisi dan pemangku kebijakan berlomba-lomba untuk membuat swafoto, menggugahnya di media sosial, memberikan komentar dan lain sebagainya.
Lalu, apakah fenomena selfie dalam politik ini adalah sebuah metode politik baru untuk menggalang dukungan simpati masyarakat? Ataukah hanya sekadar pemenuhan hasrat narsisme pribadi?
Selfie pada dasarnya bisa digunakan untuk membangun political branding. Hal ini disadari betul oleh politisi-politisi zaman sekarang. Kegiatan selfie juga berhubungan langsung dengan aktivitas di dunia maya. Dengan memanfaatkan hal tersebut secara baik, seseorang bisa meningkatkan kekuatan politiknya. Apalagi, saat ini dunia maya sangat berperan bagi sukses atau tidaknya seseorang dalam kontestasi politik.
Namun demikian, perlu disadari pula bahwa dalam pembentukan political branding seringkali politisi berubah menjadi aktor. Erving Goffman dalam bukunya, “The Presentation of Self in Everyday Life” (1956), menyebutnya dengan istilah dramaturgi. Politisi bisa memainkan peranannya dengan cara berbeda-beda.
Saat tampil di depan publik secara langsung maupun melalui selfie, seseorang bisa menampilkan dirinya yang berbeda jika dibandingkan yang terjadi dalam kehidupannya sehari-hari. Apakah yang dilakukannya adalah pencitraan, apakah benar-benar serius, sekadar untuk mendapatkan suara pemilih atau simpati publik?
Lahirnya pemimpin-pemimpin politik seperti ini pada akhirnya tentu saja akan melahirkan sistem politik yang hanya bersifat artifisial. Manifestasi narsisme politik bisa juga dilihat dari pernyataan-pernyataan elite-elite politik dan pemangku kebijakan yang menyuarakan ide, gagasan dan pemikiran seakan-akan berpihak kepada rakyat.
Mereka seolah-olah memperjuangkan secara tulus masyarakat bawah. Padahal kalau diamati secara saksama, ini semua memiliki maksud dan tujuan yang tidak lain adalah menaikkan citra diri, simpati publik dan suara rakyat. Sebuah sistem politik yang berorientasi pada kerja hiburan belaka demi menyenangkan basis konstituennya secara sesaat. Dalam kondisi ini, visi-visi dan program kerja tentu saja tidak akan pernah menyentuh kebutuhan mendasar (basic need) masyarakat yang sesungguhnya.
Narsisme politik yang dilakukan sebagian para elite politik tidak terbatas ruang waktu, artinya dalam setiap kesempatan yang bisa memunculkan “keberadaan” dirinya. Di tengah pandemi COVID-19 yang saat ini mewabah di seluruh dunia, termasuk Indonesia secara tidak langsung telah dijadikan kesempatan oleh para politikus dan calon kepala daerah yang akan ikut dalam pilkada serentak.
Bagi pejabat politik yang telah terpilih dan duduk sebagai wakil-wakil rakyat, situasi ini dimanfaatkan untuk menunjukkan seberapa besar komitmen mereka terhadap janji yang telah mereka ucapkan sebelum terpilih sebagai pejabat atau wakil rakyat. Sedangkan bagi mereka yang baru akan berkompetisi dimanfaatkan sebagai panggung mendulang partisipasi atau dukungan dari masyarakat.
Kegiatan-kegiatan tersebut berupa penyemprotan disinfektan, bagi-bagi masker, bagi-bagi sembako, menyumbangkan alat pelindung diri (APD) kepada tenaga medis dan lain-lain. Memang tidak ada masalahnya mereka melakukan itu di saat semua orang berusaha memutuskan rantai penyebaran virus COVID-19 ini. Namun, yang tidak dibolehkan adalah memanfaatkan anggaran negara untuk kepentingan citra diri dalam pilkada.
Apa pun itu, pencitraan semacam itu sangatlah tidak etis dan merupakan pelanggaran asas kepatutan dan kepantasan. Sebab, penanggulangan wabah penyakit menular yang menggemparkan dunia ini justru dijadikan alat pencitraan untuk mendapat simpati publik. Padahal, mengambil langkah-langkah konkret mencegah dan menanggulangi penyebaran virus COVID-19 di masyarakat sudah menjadi kewajiban pemerintah. Bukan dijadikan ajang pencitraan demi mendapatkan pujian dan simpati publik dan memanfaatkan sebuah kesempatan untuk kepentingan pribadi seolah-olah paling peduli pada masyarakat. (Wallahualam).
Di sini kita bisa menyaksikan kekuatan narsisme yang digunakan elite-elite politik dan pemangku kebijakan untuk membangun citra diri tanpa peduli relasi citra itu dengan realitas sebenarnya.
Bahkan, beberapa citra itu tidak saja berbeda, tetapi bertolak belakang dengan realitas sesungguhnya. Penulis meminjam istilah gaul yang sering dipakai remaja, “Enggak narsis, enggak eksis”. Anda sebagai pembaca dapat menilainya sendiri.
*Akademisi UIN STS Jambi
Discussion about this post