Dengan demikian, para buron Indonesia yang berada di kawasan Singapura kini bisa lebih gampang dicekal dengan dukungan resmi pemerintah Negeri Singa ialah menyerahkan mereka ke tangan RI.
Lantas, apa saja tindakan melawan hukum yang mampu menjerat seseorang untuk diekstradisi oleh Singapura?
Pasal 2 ayat (1) abjad a Undang-Undang Pengesahan Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Singapura perihal Ekstradisi Buronan menyebut bahwa beberapa tindak kriminal mampu dieksekusi berdasarkan aturan kedua negara dengan bahaya penjara 2 tahun maupun bahaya pidana lebih berat yang lain.
Berikut beberapa tindak pidana yang mampu menjadikan orang diekstradisi.
1. Pembunuhan dengan segala bentuk
2. Menghilangkan nyawa alasannya adalah teledor
3. Aborsi
4. Sengaja melukai atau menyebabkan luka berat
5. Penganiayaan
6. Perkosaan
7. Seks tidak sah dengan perempuan
8. Kesusilaan
9. Pembelian atau jual beli perempuan atau anak
10. Menculik, melarikan orang atau merampas kemerdekaan orang, atau terlibat dalam perbudakan
11. Penculikan, penelantaran, pengeksploitasian, atau penahanan yang tidak sah terhadap anak
12. Penyuapan dan tindakan korupsi Lainnya
13. Pembakaran
14. Pemalsuan mata duit
15. Pemalsuan
16. Pencurian, penggelapan, penipuan terkait penukaran duit, penipuan dengan pemalsuan pembukuan, perolehan harta kekayaan atau kredit lewat penipuan, penerimaan harta kekayaan curian atau tindak pidana lain terkait harta kekayaan melalui penipuan, tergolong penipuan terhadap bank
17. Perampokan
18. Pemerasan atau pemerasan dengan memakai bahaya atau dengan menyalahgunakan kekuasaan
19. Melanggar aturan kepailitan dan hukum perusahaan
20. Sengaja merusak harta kekayaan
21. Perbuatan yang dilaksanakan dengan maksud membahayakan kendaraan, kapal laut atau pesawat melayang, termasuk orang yang berada di dalamnya
22. Melanggar undang-undang psikotropika, obat-obatan berbahaya atau narkotika
23. Perompakan
24. Pemberontakan melawan kewenangan nahkoda kapal atau kapten pilot pesawat melayang
25. Pembajakan dan perbuatan lain yang membahayakan keamanan pesawat melayang dan perbuatan yang membahayakan keamanan bandar udara internasional
26. Pendanaan terorisme
27. Pembajakan kapal, penghancuran atau perusakan kapal, tindakan lain yang membahayakan atau dapat membahayakan keselamatan navigasi dan bahaya untuk melaksanakan hal-hal tersebut
28. Melanggar aturan terkait keuntungan yang didapat dari korupsi, perdagangan gelap obat-obatan, dan tindak kriminal berat yang lain
29. Sumpah imitasi atau informasi artifisial di bawah sumpah atau bersekongkol untuk membatasi jalannya peradilan
30. Pencurian dalam rumah, memasuki rumah dengan melawan aturan atau tindak kriminal sejenis.
Dalam Pasal 2 ayat (4) diterangkan bahwa ketentuan ekstradisi ini berlaku pada semua tindak kriminal yang termaktub dalam ayat (1) yang dilaksanakan sehabis berlakunya kesepakatanini dan semua tindak pidana yang dilaksanakan 18 tahun sebelum perjanjian ini berlaku.
UU ini juga menerangkan bahwa ekstradisi tidak mampu dilakukan salah satunya jikalau tindak pidananya mempunyai karakter politik.
Tindak pidana yang mempunyai huruf politik sendiri ditentukan menurut keputusan pihak yang diminta, dalam hal ini Singapura.
Terkait hal ini, yang bukan merupakan tindak pidana huruf politik berdasarkan Pasal 4 ayat (3) antara lain tindak pidana terhadap nyawa atau keselamatan kepala negara atau kepala pemerintahan atau anggota keluarga pada dasarnya.
Kemudian tindak pidana yang mewajibkan kedua negara mencegah atau memberantas suatu klasifikasi tindakan melawan hukum tertentu untuk mengekstradisi buron atau melimpahkan kasusnya ke pejabat berwenang agar dijalankan penuntutan.
Setuturnya tindak pidana pembunuhan, tindak pidana terkait terorisme, dan tindak pidana percobaan penyertaan, atau pemufakatan untuk melaksanakan tindak kriminal yang disebutkan sebelumnya.
“Apabila timbul pertanyaan perihal apakah suatu tindak kriminal yang dilaksanakan oleh buronan ialah tindak pidana yang mempunyai karakter politik, keputusan dari Pihak Diminta yang mau menentukan,” demikian bunyi Pasal 4 ayat (4) beleid tersebut.